bintang

Senin, 11 Juli 2011

pernah-pernik seorang arsitektur, visit aceh yah :)

Rumoh Aceh

Bagi masyarakat tradisional Aceh, rumah tinggal bukanlah rumah hunian biasa tanpa makna. Orientasi rumah yang selalu diupayakan menghadap ke arah Mekkah (ke arah barat dari Aceh), merupakan ungkap bentuk kecintaan terhadap Islam sehingga mendorong karya arsitektur menyesuaikan jatidirinya.

Selain orientasi rumah yang selalu mengikuti garis imajiner timur ke barat, namun apabila ada penambahan ruang maka dilakukan ke sisi samping (utara atau selatan). Hal tersebut nampak pada arah hadap bangunan ke arah timur sedangkan sisi dalam-sisi belakang yang dianggap sakral berada di sisi barat.

Pembangunan rumoh Aceh tidak hanya harus memenuhi syarat agamawi saja, namun karena harus responsif terhadap alam tropis maka rumoh Aceh hadir dalam bentuk rumah panggung yang nyaman.

Membangun Rumoh Aceh

Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Hal itulah mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah melalui beberapa persyaratan, seperti pemilihan “hari baik” yang ditentukan oleh teungku (ulama setempat) dan pengadaan acara kenduri dengan upacara peusijuk-nya.

Konstruksi rumoh Aceh berbahan utama kayu-kayu pilihan, begitu pula tiang struktur utama, dinding dan lantai rumah, pintu dan jendela hingga atap rumah dengan penutup dari daun rumbia atau daun pohon sagu.

Apabila persyaratan mutu bahan bangunan benar-benar menggunakan kayu pilihan dan berkualitas bagus, maka rumah Aceh mampu bertahan hingga ratusan tahun.

Mengenal Rumoh Aceh

Pembagian ruang rumoh Aceh pada umumnya terdiri tiga ruang bertiang 16 atau lima ruang bertiang 24. Menapaki kaki yang lelah setelah berjalan jauh sungguh terasa nyaman ketika masuk ke sramoe reunyen (serambi bertangga) rumah, melangkah masuk ke dalam ruang melalui pintu yang didesain setinggi 120-150 cm, menyadarkan setiap tamu untuk bersikap selalu saling menghormati terutama kepada pemilik rumah.

Ruang utama atau rambat terasa lapang dan luas karena sengaja tidak diisi perabot kursi-meja, namun hanya diisi hamparan tikar ngom lapis tikar pandan yang halus. Tamu umumnya dipersilahkan duduk bersila bersama sang tuan rumah sehingga menghadirkan suasana kehangatan persaudaraan.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, rumoh Aceh adalah rumah panggung yang memiliki yup moh atau ruang bawah terbuka yang memiliki peranan penting banyak fungsi seperti (1) digunakan kaum perempuan untuk membuat songket; (2) tempat meletakkan jeungki dan krongs; (3) memudahkan antisipasi terhadap kemungkinan banjir atau ancaman binatang berbahaya; (4) digunakan untuk kandang hewan peliharaan; hingga (5) digunakan sebagai warung atau kios.

Keberadaan Rumoh Aceh kini

Masa kini telah jarang sekali ditemui rumoh Aceh yang dibangun spesifik untuk rumah tinggal, godaan untuk tinggal di dalam rumah beton mendorong mayoritas masyarakat Aceh melepas secara perlahan-lahan akan warisan budaya arsitekturnya.

Selepas tragedi tsunami, banyak sekali peninggalan rumoh Aceh yang asli hilang tersapu badai alam di samping tersapu badai modernisasi. Berdasarkan amatan yang pernah dilakukan, rumoh Aceh asli masih “cukup banyak” ditemui di daerah Kabupaten Pidie dan di desa-desa sekitar kawasan pantai Timur yang tersebar dari Aceh Timur hingga Aceh Besar.

Apresiasi pemerintah setempat terhadap tinggalan arsitektur tradisional ini nampak dibangunnya Museum Aceh yang mengadopsi rumoh tradisonal Aceh di Jl. S.A. Mahmudsyah di kota Banda Aceh maupun nampak di tinggalan rumah Tjut Nyak Dhien di Aceh Besar (nampak di gambar bagian berikut)



Sumber: www.flickr.com by Kunthowibowo


Ungkapan:

“Pintu rumoh Aceh ibarat hati orang Aceh, sulit untuk memasukinya namun begitu masuk akan diterima dengan penuh lapang dada serta kehangatan”.

0 komentar:

Posting Komentar