bintang

Kamis, 28 Juli 2011

Pesan Abu Beureueh dan Soekarno di Kuta Asan



Tanggal 17 Juni 1948 Presiden Soekarno berkunjung ke Sigli dan berpidato bersama Tgk Muhamamd Daod Beureueh di Lapangan Kuta Asan, stadion sepak bola kebanggaan masyarakat Pidie sekarang. Orang-orang tua di Pidie masih menyimpan memori itu.


Tgk. H. M. Daud Beureueh
Presiden Soekarno berangkat dari Banda Aceh sekitar pukul sembilan pagi. Ia sengaja memilih jalan darat untuk bisa langsung ribuan masyarakat yang menyambutnya di sepanjang jalan. Di beberapa tempat Soekrano segaja berhenti untuk memberi salam dan pidato singkatnya kepada masyarakat yang menantinya.
Seperti di Simpang Montasik. Dalam buku Prekundjungan Presiden Soekarno ke Atjeh diceritakan, di Simpang Montasik itu Soekarno menyampaikan terimakasihnya kepada warga Montasik yang telah mempersiapkan jalan menuju Blang Bintang untuk persiapan pembukaan Bandar Udara (Bandara). Kini, Bandara itu telah berdiri dan dikenal sebagai Bandara Internasional Sulthan Iskandar Muda.
Soekarno juga meminta maaf, karena tidak menggunakan bandara tersebut sebagai tempat pendaratan pesawat yang membawa rombongannya dari Jakarta dua hari sebelumnya; 15 Juni 1948, tapi mendarat di lapangan terbang Lhok Nga. “Saudara-saudara tentu merasa kesal, karena lapangan Blang Bintang tidak dipakai, dan dipakai lapangan terbang Lhok Nga, oleh karena lapangan itu lebih sempurna. Tetapi saya tetap berterima kasih kepada saudara-saudara, saya terharu atas persediaan saudara-saudara kepada kepala negara. Marilah kita sekarang menyorakkan merdeka,” kata Soekarno.
Ratusan warga yang memadati Simpang Montasik membalas teriakan “merdeka”  yang dari Soekarno. Dari sana Soekarno kemudian melanjutkan perjalanan menuju Sigli. Jam satu siang rombongan presiden memasuki Kota Sigli dan disambut puluhan ribu rakyat Pidie di sepanjang jalan.
Soekarno langsung menuju ke Pendopo Bupati Pidie untuk makan siang. Jam dua siang, Soekarno menuju ke Lapangan Kuta Asan untuk menyampaikan pidatonya. Di bawah terik matahari ribuan rakyat sudah memadati lapangan tersebut, mulai dari jalan sampai ke tengah lapangan.
Bupati Pidie, Tgk Abdul Wahab naik ke mimbar untuk menyampaikan sambutannya dengan terikan Allahu Akbar dan pembacaan Fatihah dilanjutkan dengan penghormatan kepada presiden.
Setelah itu Bupati Tgk Abdul Wahab mempersilahkan Ketua Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia, Soerjo untuk menyampaikan pidato susulan. Soerjo menyampaikan kekagumannya kepada rakyat Pidie yang menyambut rombongan presiden. “Waktu mula-mula ke sini, saya tidak mengetahui bagaimana Sigli, tapi sekarang saya berdiri diantara masyarakat Pidie,” katanya.
Dalam pidatonya Soerjo meminta rakyat Pidie untuk berjuang terus mempertahankan republik yang disebutnya sebagai jembatan emas untuk mencapai kebahagiaan bersama. “Sekarang mari kita berpikir satu hal saja, yakni negara republik Indonesia,” teriaknya.
Pesan Abu Beureueh
Tgk Muhammad Daod Beureueh sebagai Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo selanjutnya tampil berpidato. Ia meminta agar seluruh rakyat Pidie mengumpulkan harta, tenaga dan pikiran untuk mempertahankan republik Indonesia dari rongrongan bangsa luar.
Di hadapan ribuan rakyat Pidie Abu Beureueh berkata. “Masa penjajahan Belanda dan Jepang telah kita lalui, sekarang telah datang masa kemerdekaan. Saudara-saudara yang terhormat, saya adalah manusia adalah manusia yang kosong, hanya dua perkara yang dapat saudara-saudara terima,”  kata Abu Beureueh. Ia kemudian membayat dua ayar Alquran dan menjelaskan dua perkara yang disebutnya itu.
“Saudara-saudara, yang pertama dan yang kedua telah sampai, alangkah baiknya kalau saudara-saudara sendiri dapat mengerti apakah pesan tersebut, tetapi apa boleh buat, demikian lama Tuhan megiriman Alquran kepada kita, hingga sekarang belum dapat mengerti. Ayat pertama yang ringkas saya bacakan maksudnya adalah; Tuhan memerintahkan kepada ummt Nabi Muhammad SAW penghubi bumi Indonesia, diperintahkan kepada kita supaya sedia, mengumpulkan segala tenaga yang ada pada kita, terutama tenaga persatuan. Kedua, tenaga kekuatan harta, ketiga kekuatan pikiran, keempat kekuatan apa saja yang dapat kita bulatkan untuk menanti saat datangnya musuh. Sebelum musuh datang, kita terlebih dahulu memperlihatkan bagaimana kekuatan kita, supaya mereka gentar. Musuh kita musuh Nabi, musuh kita musuh Tuhan. Belanda yang angkara murka yang kembali hendak menjajah kita,” jelas Abu Beureueh penuh semangat.
Dalam pidatonya Abu Beureueh juga menekankan pentingnya menolak segala bentuh penjajahan. Berjuang untuk melawan penindasan sebagaimaan suruhan agama. Ia mengulang kembali apa yang telah terjadi di Aceh semasa melawan penjajahan Belanda dan Jepang, yang disebutnya sebagai kafir, musuh agama. Dalam pidatonya ia melanjutkan pesannya kepada rakyat Aceh di Pidie,
“Kita sudah barang tentu tidak mau dijajah. Kalau memang kita tidak mau dijajah, bersedia untuk menangkis, untuk menolak, untuk menggetarkan hati mereka sendiri, Ini ialah pesan Tuhan yang pertama. Saya yakin saudara-saudara memang sudah siap sedia lengkap dengan segala tenaga yang ada pasa saudara-saudara,” katanya.
Kemerdekaan yang telah diraih menurut Abu Beureueh merupakan nikmat yang harus disyukuri. Rakyat Aceh harus beryukur atas karunia Tuhan tersebut, tak boleh mengingkarinya. Dalam pidatonya Abu Beureueh melanjutkan. “Sebagai bukti kepada Tuhan, untuk mensyukuri Tuhan, menghilangkan kafir Belanda, kafir Jepang, dan meninggalkan bahan-bahan yang menguntungkan. Sekarang mau dilihat oleh Tuhan apa yang kamu lakukan. Kalau kamu ingkar kepada Tuhan, tidak kamu insyafi, tentu kamu akan mendapat kutuk,” tegasnya.
Abu Beureueh yakin rakyat Aceh di Pidie akan siap untuk menentang musuh yang akan kembali untuk menjajah. Di ujung pidatonya ia berpesan kepada para pejuang untuk selalu melindungi dan memberi kenyamanan bagi rakyat, meski dalam keadaan perang sekalipun. Tentang itu, Abu Beureueh berkata:
“Saudara-saudara, pesan Tuhan yang kedua, saya yakin saudara-saudara telah siap menentang musuh, menangkis Belanda. Maka, sambutlah pesan Tuhan yang kedua yakni bekerja dengan baik. Bawalah rakyat ke medan keamanan, bahkan ke medan kebahagiaan, kenikmatan. Sampai kini sekarang telah datang masa untuk saudara-saudara menerima wajangan dari paduka yang mulia presiden kita. Sambutlah dengan hati yang riang gembira. Demikianlah saya sudahi dengan doa selamat, mudah-mudahan saudara dalam aman dan tentram,” Abu Beureueh mengakhiri pidatonya.
Pesan Soekarno
Setelah Abu Beureueh berpidato, tiba giliran Presiden Soekarno untuk naik ke podium utama menyampaikan pesan dan wejangannya kepada rakyat Aceh di Pidie. “Saudara-saudara sekalian, lebih dahulu sebagai seorang yang beragama Islam, saya mengucapkan kepada saudara-saudara salam Islam, Assalamualaikum warahmatullah wabarakatu,” kata Soekarno membuka pidatonya.
Salam Soekarno dijawab dengan suara gemuruh oleh masyarakat Pidie yang memadati lapangan Kuta Asan. Setelah itu kata Soekarno, “Kemudian sebagai kepala negara saya hendak menyampaikan pekik merdeka. Minta disambut dengan sura yang membelah bumi, merdekaaa,” teriak Soekarno sambil mengacungkan tanganya yang tergepal ke udara.
Teriakan itu juga dijawab dengan terikan yang sama dengan gemuruh seisi stadion. Ini merupakan pengalaman pertama masyarakat Pidie berhadapan langsung dengan Presiden Soekarno. Mereka menyambutnya dengan suka cita dan penuh semangat. Soekarno selanjutnya menjelaskan tentang arti penting sebuah negara (Indonesia) yang baru didirikan, yang menuntut kedisiplinan dalam menjalankannya dengan segala peraturan perundang-undangan. “Negara ini adalah suatu negara yang berorganisasi, bertata tertib. Oleh karena itu saya minta agar juga tata tertib dijalankan, dihormati peraturan-peraturan dan tata tertib itu,” pinta Soekarno.
Selanjutnya, Soekarno menjelaskan kepada rakyat Pidie tentang pengakuat dunia internasional terhadap kemerdekaan Indonesia. Katanya, surat kabar di luar negeri seperti New York, Washington, London dan Paris menulis tentang lahirnya Indonesia sebagai sebuah negara republik yang merdeka dari penjajahan Belanda. “Every thing in the Republik of Indonesia is well,”  katanya dalam bahasa Inggris. “Hal yang demikian mengangkat nama republik. Inilah yang membuat seluruh dunia menghormati kemerdekaan kita,”  lanjut Soekarno.
Kepada para pemuda di Pidie, Soekarno meminta untuk mengingat sumpah pemuda dan memperkokoh persatuan, serta patuh dan setia kepada negara. Menutup pidatonya, Soekarno mengatakan, “Aku hendak meminta supaya dijaga tata tertib, dijaga persatuan dengan segenap bangsa kita semua. Semua bangsa yang mencintai kemerdekaan. Marilah, marilah, marilah saudara sekalian menyusun persatuan. Dengan adanya persatuan yang demikian kita dapat meneruskan perjuangan kita. Dengan demikian tidak ada kans sedikit juga bagi musuh untuk mejajah kembali. Sekianlah, Wassalamualaikumwarahmatullahwabaratuh, merdekaaa,” teriaknya menutup pidato. Teriak yang dijawab dengan teriakan yang sama oleh ribuan rakyat Pidie di Kuta Asan.
Dari Sigli Soekarno ke Bireuen
Usai pidato di Kuta Asan, sekitar pukul 14.45 WIB, Soekarno melanjutkan perjalanan ke Bireuen melalui jalan Peukan Pidie, Garot, Gle Gapui, Beureuneun, Meureudu hingga sampai ke Bireuen. Sepanjang jalan yang dilalui itu rakyat Aceh berbaris di samping jalan sambil melambaikan bendera merah putih. Di Bireuen Presiden Soekarno menginap di rumah Kolonel Husein Joesoef.
Esoknya, 18 Juni 1948, Presiden Soekarno memberi kursus politik kepada para pejabat di Bireuen dan sekitarnya. Kuliah umum itu diberikan Soekarno di Bioskop Murni pada jam sebelas. Sorenya, ia kembali memberikan kursus politik kepada para pemuda di sana. Dalam pidatonya, Soekarno memberikan kursus politik yang sama dengan apa yang disampaikannya di Kutaradja.
Malamnya, Soekarno menyampaikan pidato untuk rakyat Aceh di Bireuen. Pidato itu digelar di lapangan Cot Gapu yang dihadiri oleh lebih dari 100 ribu orang. Pidato yang disebut sebagai rapat umum tersebut dibuka oleh Bupati Aceh Timur T A Hasan selaku ketua panitia penyambutan presiden di Bireuen.
Sebagai pembicara pertama tampil Komisaris Negara Mr T Mohammad Hasan, dilanjutkan Gubernur Militer Aceh Langkah dan Tanah Karo Tgk Muhammad Daod Beureueh. Setelah itu baru Soekarno. Usai rapat umum di Cot Gapu itu, Presiden Soekarno dan rombongan kembali ke rumah  Kolonel Husein Joesoef untuk menonton pertunjukan dan hiburan yang disajikan masyarakat Bireuen. Esoknya Soekarno kembali ke Kutaraja dan tiba di sana pukul 18.30 WIB.
sumber: harian-aceh.com (Fokus Oleh Iskandar Norman – 29 June 2011)

Van Swieten dan Nama Kutaraja


boss-mails.com
Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh merupakan salah satu kawasan pemukiman tertua yang jadi muasal Kota Banda Aceh. Van Swieten menamainya Kutaraja, kotanya para raja.
Gampong Pande, gampong yang luluh lantak digoyang gempa dan dihempas tsunami 26 Desember 2004 lalu itu makam raja-raja terbujur mengabarkan kemegahannya pada masa lalu.
Saat tsunami akses jalan ke komplek makam tersebut putus total. Jalan itu benar-benar rusak. Beruntung beragam bantuan pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh paska tsunami, Pemerintah Kota Banda Aceh mampu menyulap kembali kawasan tersebut menjadi pemukiman yang baru. Jalan ke situs sejarah seperti makam raja-raja Aceh tempo dulu dibangun kembali.
Komplek makam itu merupakan cagar budaya di bawah naungan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Di komplek makam tersebut tampak batu nisan dengan ukiran aksara Arab yang artistik. Zaman dahulu penduduk Kampung Pande memang dikenal sebagai pengrajin batu nisan.
Tak hanya makam para raja dan laksamana yang membuat Gampong Pandee kesohor. Masa lalu, di sini juga ada lokasi pengrajin emas. Tepatnya di Kuta Diblang, yang kini diabadikan menjadi nama salah satu lorong di kampung itu. Hasil kerajinan dijual ke Malaysia, Turki, Perancis, sampai Inggris. Namun, pengrajin emas tidak berasal dari Gampong Pandee.
Para arkeolog dan ahli sejarah pernah melakukan penelitian terhadap batu-batu nisan di komplek pemakaman tersebut. Salah satu bantu nisan disebutkan milik Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah. Dari situ pula kemudian terungkap bawa kampung yang menjadi asal muasal Kota Banda Aceh itu dibangun pada hari Jum’at tanggal 1 Ramadhan tahun 610 Hijriah atai 22 April 1205 Masehi.
Gampong yang menjadi pusat kerajaan itu dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri. Tentang Kota Lamuri ada yang mengatakan ia adalah “Lam Urik” sekarang terletak di Aceh Besar.
Menurut Dr  N A Baloch dan Dr. Lance Castle yang dimaksud dengan Lamuri adalah “Lamreh” di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang). Sedangkan Istananya dibangun di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama “Kandang Aceh”.
Dan pada masa pemerintahan cucunya Sultan Alaidin Mahmud Syah, dibangun istana baru di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia (dalam kawasan Meligoe Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang) dan beliau juga mendirikan Mesjid Djami Baiturrahman pada tahun 691 H.
Berdasarkan temuan itu, Banda Aceh pun kemudian ditabalkan sebagai salah satu kota Islam tertua di Asia Tenggara. Kota ini pernah menjadi sangat terkenal sebagai Bandar Aceh Darussalam ketika masa gemilangnya kerajaan Aceh.
Namun kebesaran itu runtuh pelan-pelan karena pecah “Perang Saudara” antara Sultan yang berkuasa dengan adik-adiknya, peristiwa ini dilukiskan oleh Teungku Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat Pocut Muhammad.
Masa yang amat getir dalam sejarah Banda Aceh Darussalam pada saat terjadi Perang di jalan Allah selama 70 tahun yang dilakukan oleh Sultan dan Rakyat Aceh sebagai jawaban atas “ultimatum” Kerajaan Belanda yang bertanggal 26 Maret 1837.
Van Swieten Menggantinya jadi Kutaraja
Setelah Banda Aceh Darussalam menjadi puing dan diatas puing Kota Islam yang tertua di Nusantara ini Belanda mendirikan Kutaraja sebagai langkah awal Belanda dari usaha penghapusan dan penghancuran kegemilangan Kerajaaan Aceh Darussalam.
Sejak itu Bandar Aceh Darussalam diganti namanya menjadi Kutaraja (kotanya para raja) oleh Gubernur Hindia Belanda Van Swieten. Pergantian nama itu dilakukan pada 24 Januari 1874 setelah Belanda berhasil menduduki istana/Kraton.
Pergantian nama itu kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia dengan beslit yang bertanggal 16 Maret 1874. Namun pergantian nama tersebut kemudian mendapat penentangan di kalangan tetntara Kolonial Belanda yang pernah bertugas di Aceh. Mereka mengangap Van Swieten hanya mencari muka pada Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan para pejuang Aceh dan mereka meragukannya.
Berubah Menjadi Banda Aceh
89 tahun kemudian, tepatnya pada 1963 Kutaraja diganti menjadi Banda Aceh. Pergantian nama ini berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43. Dan semenjak tanggal tersebut resmilah Banda Aceh menjadi nama ibukota Provinsi Aceh sampai sekarang.
Kota Banda Aceh yang menjadi ibukota Provinsi Aceh pada masa kini, merupakan pusat Kerajaan Aceh Darussalam sebelum Pemerintah Hindia Belanda memerangi kerajaan itu pada tahun 1873. Pada masa penjajahan Belanda terhadap Kerajaan Aceh, nama Banda Aceh hilang berganti dengan Kutaraja yang merupakan sebutan terhadap areal kediaman Sultan Aceh.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Nomor 153/1962 Tanggal 28 Desember 1962 terhitung mulai tanggal 1 Januari 1963 nama Kutaraja diganti menjadi Banda Aceh. Surat Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Nomor Des. 52/1/43-43 Tanggal 9 Mei 1963 mengesahkan Banda Aceh menjadi nama ibukota Daerah Istimewa Aceh.
Kota Banda Aceh dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 (drt) Tahun 1956 adalah daerah otonom dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada awal pembentukan terdiri atas dua buah kecamatan, yaitu: Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Baiturrahman dengan luas 11,08 kilometer.
Kmeudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1983 tentang perubahan batas wilayah Kotamadya Dati II Banda Aceh, luas wilayah menjadi 61,36 Km2 yang dibagi ke dalam empat kecamatan, yaitu: Kecamatan Kuta Alam, Kecamatan Baiturrahman, Kecamatan Meraxa, dan Kecamatan Syiah Kuala.
Selanjutnya pada tahun 2000 terjadi pemekaran wilayah kecamatan sesuai Peraturan Daerah Kota Banda Aceh Nomor 8 Tahun 2000, kecamatan dalam lingkungan Kota Banda Aceh bertambah lagi 5 kecamatan sehingga seluruhnya menjadi 9 kecamatan, yaitu: Kecamatan Kuta Alam, Kecamatan Baiturrahman, Kecamatan Meuraxa, Kecamatan Syiah Kuala, Kecamatan Banda Raya, Kecamatan Jaya Baru, Kecamatan Ulee Kareng, Kecamatan Kuta Raja, dan Kecamatan Lueng Bata.
Pada masa kini di Kota Banda Aceh masih terdapat peninggalan masa Kerajaan Aceh antara lain berupa makam Sultan Iskandar Muda, gunongan, pintu khob. Selain itu, pendopo gubernur yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda di bekas areal kediaman Sultan Aceh.
Mesjid Raya Baiturrahman merupakan bangunan yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda kendatipun pada masa kemerdekaan Indonesia telah diperluas. Gedung Bank Indonesia merupakan bangunan De Javasche Bank yang didirikan pada tahun 1916 oleh pihak Belanda. Gedung SMA Negeri 1 Banda Aceh juga bekas bangunan pada masa Hindia Belanda.
Hingga sekarang Kota Banda Aceh telah dipimpin oleh 15 walikota, yaitu sebagai berikut.
No.     Nama     Tahun     Keterangan
1.     T. Ali Basjah     1957 – 1959     –
2.     T. Oesman Yacoub     1959 – 1967     –
3.     T. Mohd. Syah     1967 – 1968     Penjabat
4.     T. Ibrahim     1968 – 1970     –
5.     T. Oesman Yacoub     1970 – 1973     –
6.     H. M. Zein Hasjmy     1973 – 1978     –
7.     Drs. Djakfar Ahmad     1978 – 1983     –
8.     Drs. Baharuddin Yahya     1983 – 1993     –
9.     Drs. Sayed Hussain Al Haj     1993 – 1998     –
10.     Muhammad Y     27 Maret s.d. 29 September 1998     Pelaksana Tugas
11.     Drs. Zulkarnain     1998 – 2004     –
12.     Drs. Syarifuddin Latief     2004  Desember –2004     Penjabat
13.     Ir. Mawardi Nurdin, M.Eng     2005 – 2006     Penjabat
14.     Drs. Razaly Yussuf     Februari 2006 –  Februari 2007     Penjabat
15.     Ir. Mawardi Nurdin, M.Eng     2007 s.d. sekarang
sumber artikel & gambar: harian-aceh.com (Fokus Oleh Iskandar Norman - 30 June 2011)

Pulo Gayo di Pulo Puep


Di gampong itu juga ditemukan kuburan dengan batu nisan yang sama seperti ditemukan di makam raja raja Pasai dan makan di Keulibeut. Kuburan itu ditemukan di sebuah tempat yang dinamai Pulo Gayo. Pada tahun 1939 H M Zainuddin pernah melakukan penelitian lansung ke tempat itu. Ia mengaku penasaran mengapa tempat itu dinamai Pulo Gayo sementara umumnya orang mengetahuyi Gayo itu berada di Aceh bagian tengah.
Dari pedududuk di Pulo Puep H M Zainuddin memperoleh informasi bahwa dahulu kala di daerah itu hanya ada beberapa gampong diantaranya: Pulo Piuep, Pulo Pisang dan Pulo Angkoi di dekat Kuala Putu (Luengputu) yang menyatu dengan Kuala Ndjong. Suatu waktu seorang raja dari Gayo datang ke daerah itu untuk menghadap raja Ndjong. Tapi sampai di kuala itu ia sakit dan beberapa hari kemudian meninggal. Ia dikuburkan di sana.
Beberapa tahun kemudian ahli waris Raja Gayo itu datang berziarah. Kuburan itu diperbaiki dan dipasang batu nisan yang berukir dengan huruf arab yang artinya “Di sini ada kuburan Raja Gayo”. Setelah itulah daerah di kuburan itu dinamai Pulo Gayo.
Ketika meneliti keberadaan kuburan tersebut, H M Zainuddin menemukan potongan-potongan batu nisan yang sudah runtuh dan jatuh ke dalam sebuah sungai kecil (alue). Dua potongan nisan itu diambil oleh H M Zainuddin. Ia merekam tulisan di potongan nisan tersebut dengan menggunakan karbon.
Dari penduduk Pulo Pueb H M Zainuddin juga memperoleh kabar bahwa tidak jauh dari Pulo Gayo itu nelayan di sana sering menemukan rantai suah kapal dan papan bekas perahu zaman dahulu. H M Zainuddin pun kemudian melanjutkan penelitiannya ke sana. Kesimpulannya, daerah itu merupakan salah satu daerah pelabuhan penting zaman dahulu di Kerajaan Pedir, malah jauh sebelum kerajaan itu terbentuk, yakni pada masa Pedir masih bernama Kerajaan Sama Indra.
Meski demikian, H M Zainuddin tidak bisa memastikan bagaimana bentuk dan susunan pemerintahan di kerajaan tersebut. Hanya saja ketika Kerjaan Aceh Darussalam telah terbentuk dan Pedir menjadi bagian federasi di dalamnya, diketahui bahwa Pedir yang saat itu sudah dipanggil dengan sebutan Pidie diperintahkan oleh banyak uleebalang di berbagai wilayahnya.
Para uleebalang itu bergelar meuntroe, panglima, imum, keujruen dan bentara, seperti: Meuntroe Banggalang, Meuntroe Garot, Bentara Rubee, Imum Peutawoe Andeue, Meuntroe Gampong Are, bentara Po Puteh Mukim VIII, Imum Lhokkadju, Meuntroe Metarem (Metareuem), Meuntroe Krueng Seumideum, Bentara Pinueng, Bentara Gigieng, Bentara Blang Ratnawangsa, panglima Meugeu, Bentara Keumangan, Meuntroe Adan, Bentara Seumasat Glumpang Payong, Bentara Blang Gapu (Ie Lubeu), Bentara Gampong Asan, Bentara Ndjong, Bentara Putu, Bentara Alue, Keujruen Aron, Keujruen Pencalang Rimba Truseb, Bentara Djumbo’, Bentara Titue, Bentara Keumala, Kejrueng Panteraja, Kejrueng Peurambat Pangwa, dan Keujrueng Chik Meureudu.
Para uleebalang tersebut memerintah sendiri negerinya yang langsung berhubungan dengan Sulthan Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan beberapa uleebalang diangkat oleh raja Kerajaan Aceh Darussalam pada masa diperintah oleh Sulthan Iskandar Muda. Mereka yang diangkat langsung oleh Sulthan Iskandar Muda merupakan para uleebalang baru untuk memimpin daerah yang baru dibuka waktu itu, seperti: Bentara Pineung, Bentara Gigieng, Panglima Meugeu, Imuem Peutawoe Andeue dan Ilot, Bentara Cumbo’, Bentara Titue dan Bentara Keumala.
Daerah itu dibuka oleh Sulthan Iskandar Muda untuk memperluas persawahan dan mengatur irigasi. Air dari Keulama dialirkan hingga ke persawahan melalui sungai kecil (lueng) ke setiap wilayah pertanian seperti Rubee, Iboh (Lueng Bintang), Ie Lubeu (Lueng Djaman), Mangki (Lueng Busu/Lueng Rambayan). Air dari Keumala itu juag ditersukan ke Lueng Alue Batee, Glumoang Payong, Unoe (Lueng Glumpang Minyeuk/Lueng Trueng Campli), Ndjong dan Lancok (Lueng Putu).
Semua jalur irigasi (lueng) itu digali secara bersama-sama oleh rakyat atas perintah Sulthan Iskandar Muda. Karena itulah negeri-negeri di Pidie dan Meureudu waktu itu kaya dengan berbagai hasil pertanian dan perkebunan. Malah pada zaman Sulthan Iskandar Mudan, negeri Meureudu dijadikan sebagai daerah lumbung pangan bagi Kerajaan Aceh Darussalam.
Pembangunan irigasi ke sawah-sawah di semua daerah itu juga melibatkan ulama-ulama setempat, seperti Tgk Di Waido (Lueng Bintang) atau sering disebut Tgk Di Pasi, kemduian Tgk Treung Campi di Glumpang Minyek yang membuka irigasi ke blang raya Glumpang Payong. Tgk Rubiah (Rubieh) di Meureudu dan beberapa tempat lainnya. Sampai sekarang para petani sebelum turun ke sawah melakukan khanduri blang di makam ulama-ulama tersebut.
Bentara Luengputu Diserang
Pada masa kerajaan Aceh Darusalam diperintah oleh Sulthan Alauddin Mahmud Syah (1767 – 1787) terjadi kekacaun di berbagai dearah akibat perang saudara. Uleebalang yang satu menyerang wilayah uleebalang lainnya untuk memperluas daerah kekuasaan dan menguasai perkebunan. Untuk menghadapi hal tersebut, dibentuklah dua federasi uleebang di Pidie, yakni federasi uleebalang duablah (12) dan federasi uleebang nam (6).
Federasi uleebalang duablah meliputi Teuku  Raja Pakeh, Teuku Bentara Ribee, Meuntroe Banggalang, Teuku Bentara Blang, Bentara Tjumbo’, Bentara Titue di bagian barat yang dipimpin oleh Teuku Raja Pakeh. Kemudian di bagian timur Meuntroe Adan, Bentara Seumasat Glumpang Payong, Keujrueun Aron, Keujruen Truseb, Bentara Ndjong, Bentara Putu, Bentara Gampong Asan yang dipimpin oleh Meuntroe Adan yang bergelar Meuntroe Polem kemudian menjadi Lakasama Polem.
Sementara federasi uleebalang nam terdiri dari: Bentara Keumangan (Panghulee Peunareu), Bentara Sama Indra (Mukim VIII), Bentara Pineung, Bentara Keumala, Panglima Meugeu, dan Bentara Gigieng. Federasi ini dipimpin oleh Bantara Keumangan.
Laksamana Polem kemudian mengawinkan anaknya yang bernama Teuku Muhammad Hussain dengan anak Teuku Bentara Ndjong. Ketika Teuku Bentara Ndjong meninggal ia tidak memiliki anak laki-laki, maka diangkatlah menantunya itu sebagai penggantinya oleh masyarakat setempat.
Kemudian Teuku Muhammad Hussain menikah lagi dengan anaknya Teuku Bentara Gampong Asan, karena perkawinan itu pula Gampong Asan berhasil dipengaruhinya. Dari sana ia menunaikan haji ke Mekkah. Sepulangnya dari Mekkah ternyata Laksamana Polem ayahnya sudah meninggal, maka diangkatlah dia menjadi laksamana dengan gelar Laksamana Tuan Haji Muhammad Hussain.
Laksamana Hussain sangat giat membangun perkebunan lada. Pada masa itu Bandar Pulau Pinang di semenanjung Malaka sudah dibuka oleh Raffles, maka Laksamana Hussain berangkat ke sana bersama rombongannya untuk misi dagang.
Pulang dari sana, ia memperluas perkebunan, uyntuk tujuan itu maka Bentara Putu diserang. Ia ingin mengambil dan menguasai perkebunan di perbukitan Paru, Musa dan Panteraja yang saat itu juga sudah mengembangkan perkebunan lada. Setelah menaklukkan daerah tersebut, Laksamana Hussain mendatangkan orang-orang Cetti dari Pulau Pinang untuk bekerja di perkebunan tersebut. Perkebunan itu di atas perbukitan Musa itu diatur oleh Haji Lam Ara, kawannya Laksamana Hussain ketika sama-sama naik haji ke Mekkah.
Laksama Hussain memmiliki 17 anak, anak-anaknya itu diminta untuk mengatur dan membuka wilayah perkebunan baru. Teuku Rajeu’ Main disuruhnya menjaga pantai sepanjang Blang Gapu, Ie Luebeu sampai ke Kuala Ndjong. Ia memerintah di sana dengan membuka peternakan sapi dan pertambakan, serta memperbanyak pukat (jaring) bagi para nelayan.
Anak Laksamana Hussain lainnya, Teuku Sjahbuddin disuruh untuk menetap di Panteraja. Di sana ia membuka perkebunan lada dan menikah dengan  anak Kejrueng Beuracan. Anak Laksamana Hussain ada juga yang dinikahkan dengan Keujruen Chik Samalanga. Sementara anaknya yang tua, Teuku Mahmud membantunya memerintah di Kuala dan Keude Ndjong. Karena perkawinan anak-anaknya itulah pengaruh kekuasaannya Laksamana Hussain semakin melebar.
Kemudian anaknya yang peempuan bernama Pocut Atikah dikawinkan denan Teuku Raja Pakeh Dalam. Karena giatnya Laksamana Tuan Haji Muhammad Hussain membangun perkebunan dan memperluas kekuasan, ia menjadi uleebalang terkaya di Pidie melalui politik perkawinan anak-anaknya, hingga ia mendapat dukungan yang kuat.
Setelah Laksamana Tuanku Muhamamd Hussain mangkay, maka diangkatlah Tueku Mahmud, anaknya sebagai pengganti degan gelar Laksamana Mahmud. dDalam pemerintahannya terjadi perang dengan negeri Meureudu, karena Meureudu menyerang untuk merebut wilayah Pangwa dan Trienggadeng. Panglima Siblok yang diangkat oleh Laksamana Mahmud untuk memerintah di Kejreuen Pangwa tak mampu melawan. Ia ditangkap dan dikirim ke Bentara Keumangan oleh panglima Meureudu karena negeri Meureudu waktu itu telah mengkat hubungan dengan federasi uleebalang nam.
Sampai di Keumangan, Panglima Siblok dibunuh. Karena itu Laksamana Mahmud marah besar. Ia menghimpun pasukannya untuk menuntut balas dan menyerang Negeri Meureudu. Dalam perang itu penglima perang negeri Meureudu Teuku Muda Cut Latif ditawan dan dikirim ke Bandar Aceh Darussalam untuk disidangkan oleh Sulthan.
Sulthan kemudian mendamaikan dua negeri tersebut dan panglima Meureudu dibebaskan, sementara wilayah Pangwa dan Trienggadeng diserahkan dalam pengawasan federasi uleebalang duablah yang dipimpin oleh Laksamana Mahmud. Dari perdamaian itu kemudian anak Laksamana Mahmud dinikahkan dengan anak panglima besar negeri Meureudu, Teuku Muda Cut Latif.
sumber: harian-aceh.com (Fokus oleh Iskandar Norman – 14 April 2011)

versi sejarah

Perbudakan di Aceh dalam Catatan Snouck  




boss-mails.com
Cristian Snouck Hurgronje menulis banyak cerita tentang masyarakat Aceh dan adat istiadatnya. Ia menggambarkan orang Aceh gemar memelihara budak.
Buah pikiran Snouck tentang Aceh itu terhimpun dalam De Atjèhers, yang dalam edisi Indonesia berjudul Aceh di Mata Kolonial, terbitan Yayasan Soko Guru, Jakarta 1985. Dalam terbitan lain, meski isinya sama, buku ini diberi judul Aceh; Rakyat dan Adat Istiadatnya.
Snouck lahir pada 1857 di Belanda, masuk ke Aceh ketika usianya 34 tahun. Sebelumnya, ia lebih dahulu belajar di Mekkah, Arab Saudi, sejak 1884. Di sana, dia menggoda hati ulama Arab dengan cara memeluk Islam.
Ketika di Aceh ia mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar. Kefasihannya dalam berbicara tentang Islam—malah konon sering berkhutbah di mesjid—membuatnya digelar oleh rakyat Aceh sebagai Teungku Puteh; Teungku yang berkulit putih, sesuai dengan warna kulitnya.
Pada 1889 Hugronyo gagal ke Aceh. Baru dua tahun kemudian (tepatnya pada 9 Juli 1891), seperti disebutkan wikipedia, ia berhasil, bahkan menetap di Kutaraja (kini Banda Aceh). Di sana, ia menjadi orang “kepercayaan” Joannes Benedictus van Heutsz, jenderal Aceh yang kemudian menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1904-1909).
Tujuh bulan ia berada di Aceh dengan dibantu beberapa orang pelayannya. Dalam kurun itu, Snouck mendekati ulama untuk bisa memberikan fatwa berdasarkan politik sivide et impera, serta meneliti cara berpikir rakyat Aceh secara langsung. Dan demi kepentingan keagamaan, ia berkhutbah untuk menjauhkan agama dan politik.
Dalam De Atjèhers, ada cerita menarik yang ditulis Snouck, seperti orang Mante yang tak mau makan, orang Kleng yang dikenal sebagai ureueng dagang, budak Nias yang mengawini anjing, Batak Karo yang keras kepala, dan budak Afrika yang melupakan negeri asalnya.
Cerita Mante
Ketika Snouck di Aceh, banyak beredar cerita mengenai Mante, yang tanpa dapat memberikan suatu penjelasan. Kebanyakan kisah binatang mengingatkan Snouck pada kisah yang pernah didengarnya tentang orang Dayak di Berneo (Kalimantan) pada mulanya.
Ketahanan hidup (eksistensi) mereka, sebut Snouck dalam De Atjèhers, mungkin sekali tetap, sesuai apa yang diceritakan orang Kalimantan padanya. Namun mereka tampaknya selalu tinggal di daerah yang jaraknya sehari perjalanan lebih jauh ke pedalaman. Orang Mante ini diperkirakan tanpa busana dan tubuh mereka berambut tebal. Dan dikabarkan orang Mante mendiami pegunungan di Mukim XXII.
Sepasang suami-istri orang Mante ini pernah tertangkap dan dihadapkan kepada Sultan Aceh, yang terjadi pada masa kakek mereka. Namun kemudian, mereka mati kelaparan karena menolak untuk berbicara atau makan meskipun telah dibujuk dengan segala upaya.
Menurut Hugronyo, dalam tulisan tentang Aceh dan dalam percakapan sehari-hari, orang yang tolol dan serba canggung disamakan dengan orang Mante. Di daerah dataran rendah, perkataan ini pula dipakai untuk memberi julukan kepada penduduk dataran tinggi, di mana di mata mereka dianggap kurang beradab. Dalam arti yang sama juga diterapkan orang daratan tinggi pada penduduk pantai barat yang berdarah campuran.
Melayu dan Keling
Aneuk Jamee dijuluki untuk penduduk pantai barat, karena kebanyakan mereka merupakan keturunan asing atau tamu atau aneuk Rawa (orang asal daerah Rawa). Dan sebutan ini masih ditambahi olok-olok meuiku (berekor). Maksud orang Rawa di sini adalah ekor layang-layang di Aceh, yang oleh Snouck memberikan catatan kalau sebutan ini berdasarkan sindiran pada arti appelatif (penyebutan sesuatu berdasarakan penemu).
Orang-orang asing ini, dengan atau tanpa ekor juga memberikan sumbangan mereka pada susunan suku Aceh. Snouck tidak meragukannya. Ia  mencontohkan pada sejumlah besar orang Kling (Kleng, ureueng dagang) di Aceh dan di pantai timur yang melahirkan lebih banyak keturunan campuran. Tulisnya, di Aceh Besar, perkataan ureueng dagang (orang asing tanpa embel-embel) dianggap menunjukkan orang Keling.
Akan tetapi, Snouck mengganggap sumbangan semua orang asing itu—juga dari orang Arab, Mesir, Jawa dan sebagainya—memang benar merupakan pengaruh kebetulan saja terhadap suku Aceh; hanya di ibu kota dan di kota-kota pantai dari negeri-negeri taklukan yang kecil.
Budak Nias
Budak belian yang kebanyakan berasal dari Nias (Nieh), merupakan faktor penting dalam perkembangan suku Aceh. Asal usul orang Nias ini tergolong aneh. Saat bersamaan, di Aceh juga beredar kisah yang terdapat di kalangan orang Jawa tentang asal usul orang Kalang.
Diceritakan Snouck, seorang putri yang menderita penyakit kulit dan mengerikan, dibuang ke Pulau Nieh. Selama masa pembuangan, putri itu hanya ditemani seekor anjing. Di pulau itu ia menemukan banyak tanaman peundang dan berangsur-angsur mulai mengenal khasiat penyembuhan dari akar peundang. Anehnya, putri itu kemudian menikahi anjing tersebut.
Snouck memberi catatan dalam bukunya, bahwa menurut kisah orang Jawa, putri itu ketika menenun menjatuhkan pintalannya. Kemudian karena enggan berdiri, ia bersumpah, bahwa siapa yang dapat mengambil pintalan itu akan menjadi suaminya. Anjing tadi cepat-cepat mengambil pintalan tersebut dan kemudian menuntut haknya pada sang putri. Maka menikahlah putri itu dengan anjing tersebut.
Dan dikabarkan, perkawinan itu menghasilkan seorang putra. Ketika putra itu dewasa, ia ingin menikah. Akan tetapi, pulau Nias saat itu tiada penduduk selain ibunya. Lalu si ibu memberi cincin yang akan menunjukkan jalan bagi putranya; jika bertemu dengan wanita yang cocok dengan cincin itu, maka itulah istrinya. Anak itu kemudian megembara ke seluruh pulau tanpa bertemu dengan seorang wanita pun. Pada akhirnya ia bertemu kembali dengan ibunya yang cincinnya cocok di jari ibunya. Mereka kemudian menikah. Dari perkawinan terlarang itulah, seluruh penduduk Nias berasal.
Tentang muasal orang Nias yang hina itu tidak ditemukan ciri khas seperti yang diceritakan di Jawa mengenai orang Kalang; perkawinan dengan anjing dan perkawinan terlarang mempunyai persamaan. Akan tetapi mengenai orang Kalang dikisahkan, bahwa induk mereka berasal dari hewan yang paling kotor diantara semua hewan, yakni babi.
Menurut legenda, putri yang hidup di rimba dilahirkan oleh babi hutan yang mengandung secara aneh. Diceritakan, Ratu Baka meminum air kelapa ketika beristirahat di sela-sela berburu, lalu ia kencing dalam tempurung. Kemudian babi hutan betina menemukan tempurung itu dan meminum isinya. Karena isi tempurung itu bukan air kencing saja—sebab usai kencing, Ratu Baka mempunyai nafsu berahi—lahirlah putri tadi.
Berdasarkan kisah geneologis, dalam silsilah orang Nias tidak memiliki babi. Tetapi dalam percakapan sehari-hari, mereka tetap dikatakan keturunan anjing dan babi. Bahkan ada sajak (hadih maja) yang mengejek orang Nias atau keturunan campuran Nias yang bunyinya, “Nieh kumudee; uroe bee buy, malam bee asee.” Artinya, “Orang Nias yang makan buah mengkudu; bau seperti babi di siang hari, seperti bau anjing di malam hari.”
Snouck juga membubuhi catatan, bahwa buah mengkudu dimakan orang Aceh sesudah dibuat rujak (cinicah/lincah) atau direbus dengan sari aren dan gula. Orang Nias suka memakannya mentah-mentah. Sehingga tak jarang orang Aceh katakan, “Nieh kumudee, biek hana malee” yang artinya “Orang Nias penggemar mengkudu, orang yang tak pernah malu”.
Meskipun semua kisah dan ungkapan demikian beredar dan orang Nias banyak menderita kurap (penyakit kulit), masyarakat Aceh sangat menyenangi mereka sebagai budak. Karena mereka dianggap penurut, suka belajar, rajin dan dapat dipercaya. Wanitanya cantik seolah-olah melebihi wanita Aceh sendiri. Sedang pemudanya menjadi penari seudati.
Dalam adat Aceh, keturunan dari garis ibu sangat penting. Musabab itu, orang enggan sekali untuk mendapat keturunan dengan budak wanita, meskipun hal ini dibolehkan dalam Islam. Snouck menulis, pergaulan antar majikan dan budak wanita sangat terbatas bila dibandingkan dengan keadaan di negeri islam lain. Kalaupun sampai terjadi hubungan seperti itu, segala jalan akan ditempuh untuk mencegah atau menghilangkan akibatnya yang biasa. Walau begitu, masih terdapat saja anak yang lahir dari hubungan semacam pergundikan tadi.
Namun demikian, kata Snouck, masih ada jalan lain untuk menyalurkan lebih banyak darah Nias ke dalam tubuh orang Aceh. Dia mencontohkan pada pria yang lama tinggal di suatu daerah tertentu tak jarang menikah dengan salah seorang budak temannya atau pemberi anugerah. Bahkan sering terjadi orang Aceh menikah dengan budak di daerah tempat tinggalnya sendiri atau daerah yang berdekatan, maka ia berani menghadapi umpatan dan kebencian keluarga terdekatanya demi kecantikan wanita pilihannya itu.
Batak di Aceh
Menurut Snouck jumlah budak dari suku bangsa lain di Aceh sangat kecil bila dibandingkan dengan orang Nias. Memang di sana-sini orang Aceh pernah mengambil pria Batak sebagai budak (jarang sekali wanitanya), tetapi sifat mereka umumnya dianggap tidak baik, berbeda dengan Nias yang dipuji. Dia menulis, orang Batak dikatakan sebagai pembangkang, malas dan menaruh dendam yang tidak dapat dilupakan dan dimaafkan.
Hal ini dapat dilihat dari pengalaman atau kisah orang lain, seperti, bagaimana budak asal Batak secara licik membunuh majikannya hanya karena deraan kecil. Atau bagaimana seorang Batak sesudah menerima perlakuan baik, melarikan diri setelah terlebih dahulu membunuh anak-anak majikannya.
Snouck memberi catatan, banyak dari orang Batak itu didatangkan dari Singkil dan Trumon. Orang Aceh membedakan Batak Karee (Karau/Karo) sebagai yang paling liar dan nakal dibanding Batak lain seperti Batak Pakpak, Batak Tuba (Toba), dan Batak Maloylieng (Mandailing). Anehnya, orang Aceh menjuluki semua jenis orang Batak dengan nama Batak Karee tadi, gara-gara watak mereka yang nakal dan liar.
Budak Abeusi
Tidak banyak orang terkemuka yang mampu menikmati kemewahan dengan mengimpor budak wanita Cina dan Semenanjung Malaka, tulis Snouck dan menjadikan mereka gundik. Ia mengatakan kalau orang Aceh lebih sering membawa budak dari Mekah sesudah melakukan ibadah haji, baik pria maupun wanita.
Untuk budak-budak yang dibawa dari Afrika, orang Aceh menyebut Abeusi kepada orang Abesinia dan Ethiopia. Orang-orang Afrika ini kalau sudah diperbudak orang Aceh, mereka tak peduli lagi pada negeri asal. Memiliki orang Abeusi sebagai pembantu rumah tangga menjadi kebanggan tersendiri bagi majikan Aceh.
Lagi-lagi Snouck memberi catatan dalam hal ini. Disebutkannya, bahwa saat itu di Ulee Lheue (Olehleh) masih ada budak Sirkassia yang dibebaskan, yang waktu itu milik Habib Abdurrahman (seorang keturunan Arab yang pernah menjadi wakil pemerintahan Aceh dan kemudian “dibeli” Belanda dan dikirim ke Mekkah), yang juga mengimpor budak India ke Aceh. Namun hal ini sangat jarang terjadi.
Hukum Perbudakan di Aceh
Menurut Snouck hukum perbudakan di Aceh juga mengalami penyimpangan dari hukum Islam. Memang, wajar dan umum bila pemilik budak segera melakukan kekerasan terhadap budak wanita mereka. Hal sama terjadi di Arab, pantangan berkala terhadap budak wanita yang baru dibeli, jarang atau tidak pernah diindahkan.
Namun di Aceh, sebut dia, hal itu dilanggar orang tanpa rasa malu. Dan kebanyakan dari mereka sama sekali tak menyadari bahwa mereka justru melanggar hukum yang sama yang mereka hormati, yang menyatakan mereka telah melakukan tindakan penculikan.
Di Dataran Tinggi (Tunong), tulis Snouck, budak jauh lebih sedikit dari pada di Dataran Rendah (Baroh), seperti lebih sedikit hal-hal yang membuat hidup lebih enak dan menyenangkan.  Lalu oleh dia menegaskan, petunjuk cukup banyak, suku manakah yang di masa lalu memberikan sumbangan ke arah peningkatan atau penurunan mutu rakyat Aceh. Terlepas dari itu, sebaiknya memandang suku ini sebagai suatu kesatuan, karena setiap pendapat mengenai hal yang sama akan dianggap prematur.
Orang Dataran Tinggi dan Rendah
Snouck menyebutkan, orang Aceh yang berasal dari berbagai bagian Aceh Besar, satu sama lain dapat dibedakan dari sejumlah besar ciri khas setempat tentang bahasa, adat, ketakhayulan, busana dan sebagainya.
Perbedaan itu antara lain, perbedaan antara penghuni Datarang Tinggi (Ureueng Tenong), terutama yang berasal dari sagi Mukim XXII dan penduduk Dataran Rendah (Ureueng Baroh), yakni penduduk dari sebagian besar kedua sagi yang berbeda (Mukim XXVI dan XXV) termasuk ibukotanya. Beberapa bagian dari kedua sagi itu hampir memiliki bahasa dan adat yang sama dengan Ureueng Tunong, seperti Ureueng Bueng yang tinggal di Mukim Bueng VII2 dalam sagi Mukim XXVI.
Penulis, Makmur Dimila adalah pegiat studi di Rumoh Aceh Community dan Komunitas Menulis Jeuneurob.
sumber: harian-aceh.com (Fokus – 14 May 2011)

kisah sebuah benteng

Benteng Kuta Gle Batee Iliek menyisakan sejarah heroisme dan pengkhianatan. Kini terbengkalai di ujung timur jembatan Krueng Batee Iliek. Jauh lebih timur lagi delapan syuhada (syahid lapan) dimakamkan.
Monumen benteng Kuta Gle dibangun untuk mengenang para syuhada yang tewas mempertahankan kerajaan Aceh terhadap agresi Belanda. Monumen itu menyimpan  secuil kisah tentang keheroikan pejuang Aceh.
Pada masa pergolakan perang melawan Belanda di Batee Iliek terkenal seorang pemimpin pejuang Aceh, Panglima Said yang memimpin perjuangan melawan Belanda di Kuta Gle, Batee Iliek.
Selama 23 tahun benteng Kuta Gle sangat sulit ditaklukkan Belanda, walau mereka dilengkapi persenjataan lengkap. Strategi yang digunakan Panglima Said cukup unik. Pasukan Belanda yang mencoba naik ke bukit Kuta Gle dibiarkan saja. Tapi ketika sebagian besar pasukan Belanda sedang mendaki, pasukan Panglima Said menggulingkan potongan  batang kelapa yang telah duluan dipersiapkan dari atas bukit. Akibatnya batang kelapa itu menimpa pasukan Belanda dan mereka terjungkal ke sungai hingga tewas.
Benteng Kuta Gle baru bisa ditaklukkan pada tahun 1901. Seorang “Cuak” bernama panggilan Abu Pang. Ia berkhianat dengan membawa pasukan Belanda melalui jalan lain untuk menyerang benteng Kuta Gle. Oleh Belanda Abu Pang dimasukkan ke dalam sebuah guci agar tidak terlihat warga. Karena pengkhianatan itulah benteng Kuta Glee takluk dan dikuasai Belanda. Panglima Said sendiri waktu itu tewas di tempat bersama sebagian besar pejuang akibat pengkhianatan Abua Pang.
Mengenang peristiwa tersebut, sebuah monumen dibangun di kaki bukit Kuta Gle, tepatnya di ujung timur Jembatan Batee Iliek. Monumen itu kini menjadi tonggak sunyi ditengah keramaian wisatawan lokal yang mengunjungi areal wisata Krueng Batee Iliek setiap harinya. Jarang yang tahu bahwa di tempat rekreasi itu pernah terjadi sebuah pergoalkan besar melawan Belanda yang puluhan tahun berusaha menaklukkannya.
Syahid Lapan
Tak jauh dari Kuta Gle, sekitar beberapa belas kilometer ke arah timur. sebuah situs sejarah perjuangan melawan Belanda juga terdapat di Desa Tambue Kecamatan Simpang Mamplam Kabupaten Bireuen. Situs tersebut berupa makam delapan pejuang yang dinamai Syahid Lapan.
Dinamakan makam Syahid Lapan, karena di situ dimakamkan delapan pejuang yang gugur melawan Belanda. Mereka adalah Tgk Panglima Prang Rayeuk Jurong Binje, Tgk Muda Lem Mamplam, Tgk Nyak Balee Ishak Blang Mane, Tgk Meureudu Tambue, Tgk Balee Tambue, Apa Syehk Lancok Mamplam, Muhammad Sabi Blang Mane, dan Nyak Ben Matang Salem Blang Teumulek.
Kisah keheroikan para Syuhada Lapan sangat jelas tertulis pada dinding makam. Peristiwa heroik itu terjadi pada awal tahun 1902, para Syuhada Lapan menghadang pasukan marsose.  Pasukan pribumi binaan Belanda itu berjumlah 24 orang. Mereka semuanya bersenjata api. Sedangkan pasukan delapan pejuang Aceh tersebut hanya bersenjatakan pedang. Tapi berkat semangat juang yang tinggi, mereka berhasil menewaskan semua marsose tersebut.
Setelah pasukan Lapan  berhasil melumpuhkan semua serdadu marsose, lalu mereka mengumpulkan  senjata milik penjajah tersebut. Mereka larut dalam euphoria kemenangan. Tanpa mereka sadari tiba-tiba sejumlah serdadu marsose lain datang dari arah Jeunieb memberi bantuan. Kedelapan pejuang itu diserang secara membabi buta dan gugur bersimbah darah.
Jasad para syuhada tersebut kemudian dikebumikan dalam satu liang. Sebab serdadu marsose mencincang-cincang bagian tubuh para pejuang tersebut dengan pedang milik mereka sendiri.
Kini, saban hari makam Syuhada Lapan banyak didatangi orang yang ingin bernazar. Bukan hanya dari Kabupaten Bireuen, tapi juga dari daerah lainnya di luar Kabupaten Bireuen. Setiap hari libur ada saja yang datang untuk melepas nazar, seperi menyembelih sapi atau kambing di Makam itu.
Para pengguna jalan juga selalu berhenti sebentar begitu tiba di depan kuburan Syuhada Lapan untuk memberi sumbangan. Di depan makam memang telah disediakan celengan beton berbentuk miniatur rumah. Konon kabarnya, apabila para pengguna jalan tidak berhenti dan memberi sedekah jika melewati makam tersebut, maka akan mengalami hambatan di perjalanan.
Yang agak unik makam Syuhada Lapan dinaungi sebatang pohon yang rindang, yakni pohon Sala Teungeut. Dinamakan pohom sala teungeut, karena sekitar pukul 18.00 WIB daun-daun pohon itu menguncup dengan sendirinya, seiring senja datang dan kembali mekar keesokan harinya. Pohon itu tiga tahun lebih muda dari usia makam Syuhada Lapan, sampai sekarang masih tetap kokoh dan kuat.
Heroisme Melawan Belanda
Heroisme perang melawan Belanda terjadi di seluruh Aceh. Namun beragam peritiwa sejarah tersebut seolah terlupakan. Perlawanan rakyat Aceh dimulai setelah Belanda menguasai pusat Kerjaaan Aceh (Dalam) pada 31 Januari 1874. Setelah agresi Belanda pada maret 1973 gagal total dengan tewasnya Jendral JHR Kohler di depan Mesjid Raya Baiturrahman.
Setelah menguasai Dalam, pihak Belanda melalui Letnan Jenderal van Swieten mengeluarkan proklamasi bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah menggantikan kedudukan Sultan dan menempatkan Daerah Aceh Besar menjadi milik Pemerintah Hindia Belanda. Pihak Belanda berusaha agar daerah-daerah di luar Aceh Besar mengakui kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda, dan jika tidak dapat dengan jalan damai, akan dilakukan dengan kekerasan.
Pihak Belanda menyangka dengan menduduki Dalam dan sebagian kecil daerah Aceh Besar serta dengan sebuah proklamasi, dapat membuat daerah Aceh lainnya takluk kepada Belanda. Kenyataannya, perlawanan pihak Aceh semakin berkobar.
Meskipun van Swieten telah memproklamasikan bahwa Pemerintah Hindia Belanda menggantikan kedudukan Sultan, pihak Aceh tetap mengangkat pengganti Sultan Alaiddin Mahmud Syah yang telah mangkat dengan Tuanku Muhammad Daud bergelar Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah (putra Tuanku Zainal Abidin bin Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah).
Perlawanan pihak Aceh terus berlanjut hingga menjelang awal kedatangan Jepang (1942). Perlawanan tersebut dipimpin oleh ulama dan uleebalang serta disemangati  oleh pengaruh syair-syair yang heroik dari penyair yang membangkitkan semangat dan antipati terhadap Belanda yang disebut sebagai kafir yang harus dilawan.
Syair-syair tersebut, di antaranya Hikayat Prang Sabi (Teungku Chik Pante Kulu), Hikayat Prang Kompeni (Do Karim/Abdul Karim), dan sebagainya. Antipati juga disebabkan oleh pihak Belanda yang tidak memperbolehkan rakyat Aceh untuk mengibarkan Bendera Alam Peudeueng dan harus mengibarkan Bendera Belanda.
Perlawanan rakyat Aceh dalam Perang Aceh sepanjang sejarah yang disebutkan di atas, melahirkan banyak catatan-catatan. Jenderal GP. Booms dalam bukunya De Erste Atjeh Expediti en Hare Enquete (Zentgraaf, 1938) menulis: “Blijkbaar rekende men dus op een gemakkelijke overwinning. De feiten, een jarenlange ervaring, hebben echtar getoond, dat men te maken had men telrijken, energieken vijand,… met een volk van een ongekende doodsveracting,dat zich onverwinbaar achtte… die ervaring leert in een woord, dat wij niet gestaan hebben tegenover een machteloozen sultan wiens rijk met den valvan zijn Kraton zou ineenstorten maar tegenover een volksoorlong, die behalve over al de materieele middelen vaqn het land, over geweldige moreele krachten van fanatisme of patriotisme beschikte..”
(“telah diperkirakan suatu kemenangan yang akan diperoleh dengan mudah. Akan tetapi, pengalaman bertahun-tahun lamanya memberikan petunjuk, bahwa yang dihadapi itu adalah musuh dalam jumlah besar yang sangat gesit, … suatu bangsa yang tidak gentar menghadapi maut, yang menganggap ia tidak dapat dikalahkan… Pengalaman itu memberi pelajaran, bahwa kita tidak dapat menghadapi seorang Sultan, yang kesultanannya akan berubah dengan jatuhnya Kraton, akan tetapi kita menghadapi rakyat yang menentukan harta-benda negara, memilki tenaga-tenaga moril, seperti cinta tanah air”).
Dalam sidang Parlemen Belanda pada 15 Mei 1877, Menteri Urusan Koloni Belanda memberikan jawaban atas interpelasi yang menyoalkan kegagalan Belanda itu, “Wij hebben te trotseeren gehad een ongekande doodsveracthing, een volk dat zich onverwinbaar achtte” (“Kita telah menghadapi maut, bangsa yang menganggap ia tidak sedikit pun gentar menghadapi maut, bangsa yang menganggap ia tidak mugkin dapat dikalahkan”).
Kegagalan Belanda itu terus saja dibicarakan, sampai Belanda pun menaruh hormat atas keberanian pejuang Aceh (baik pria maupun wanita). Rasa hormat itu sebagaimana diungkapkan Zentgraaff dalam bukunya Atjeh, yang menulis: “De Atjehschevrouw, fier en depper, was de verpersoonlijking van den bittersten haat jegens ons, en van de uiterste onverzoenlijkheid an als zij medestreed, dan deed zij dit met een energie en doodsverachting welke veelal die der mennen overtroffen. Zij was de draagster van een haat die brandde tot den rand van het graf en nog in het aangezicht van den dood spuwde zij hem, den kaphe in het gezicht”
(“Wanita Aceh  gagah dan berani mereka pendukung yang tidak mungkin didamaikan, terhadap kita dan bila ia turut serta bertempur, dilakukannya dengan gigih dan mengagumkan, bersikap tidak takut mati yang melebihi kaum pria. Ia mempunyai rasa benci yang menyala-nyala sampai liang kubur dan sampai saat menghadapi maut, ia masih mampu mendahului muka si kaphe”).
Perang antara pihak Belanda dan pihak Aceh yang dikenal dengan Perang Aceh melahirkan pengakuan pihak Belanda. G.B. Hooyer (1897) menulis: “Geen benden van Diepo Negoro of Sentot, geen dweepzieke Padri’s, geen scharen Balineezen of ruitmassa’s der Bonieren ontwikkelden ooit zooveel dapperheid en doodsverachting in het gevecht, zooveel stoutheid bij den aanval, zooveel vertrouwen op eigen kracht, zooveel taaiheid in tegenspoed, als die door den vrijheidlievenden, fanatieken, voor den guerilla-krijg als geschapen Atjeher werden betoond. Daarom zal de Atjeh-oorlog steeds een leerschool blijven voor ons leger, …”
(“Tidak ada pasukan Diponogoro atau Sentot (Ali Basyah Prawiro Dirjo), tidak ada pasukan Padri yang sedemikian fanatiknya, tidak ada pasukan Bali atau pasukan berkuda orang Bone yang telah memperlihatkan keberanian dan tidak gentar menghadapi maut di dalam pertempuran-pertempuran, disertai dengan kenakalan-kenakalan pada penyerangan, demikian penuh kepercayaan pada kekuatan sendiri, begitu gigih di dalam menghadang lawan, seperti yang diperlihatkan oleh orang Aceh yang cinta kemerdekaan, fanatik dan laksana dilahirkan untuk bergerilya. Karenanya, perang Aceh akan selalu merupakan sekolah tempat belajar untuk tentara kita, …”).
Zentgraaf, menutup dengan kalimat: “Cemme ils tombent bien…. en is er een volk op deze aarde dat de ondergang dezer heroike figuren niet met diepe vereering zou schrijven in het ziyner historie?” (… dan adakah suatu bangsa di bumi ini yang tidak akan menulis tentang gugurnya para tokoh heroik ini dengan rasa penghargaan yang sedemikian tingginya di dalam buku sejarahnya?”).
sumber: harian-aceh (Fokus, Oleh Iskandar Norman- 2 July 2011)

Kain Tenun Sebagai Objek Daya Tarik Wisata di Aceh

Pendahuluan
Pelestarian pusaka (warisan budaya), baik alam maupun budaya hingga saat ini belum dianggap sebagai hal yang penting. Hal itu disebabkan berbagai alasan, mulai dari anggapan bahwa pelestarian adalah anti kemajuan atau perkembangan hingga pada anggapan bahwa pelestarian tidak menguntungkan secara ekonomis. Dengan demikian, dianggap kecil kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kualitas lingkungan hidup. Akan tetapi, di beberapa negara maju, pelestarian pusaka alam dan budaya, baik yang tangible (bendawi) maupun intangible (non-bendawi) dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan ekonomi masyarakatnya serta menjamin keberlanjutan pembangunan.
Berdasarkan pemahaman di atas, warisan budaya Aceh memiliki potensi daya tarik wisata. Warisan budaya mampu menarik pengunjung, baik wisatawan lokal, Nusantara, maupun mancanegara, sehingga warisan budaya dapat menjadi objek dan atraksi wisata utama, bahkan andalan atau icon di Aceh. Negara-negara maju di dunia, seperti Prancis mampu menarik kunjungan wisatawan dalam jumlah besar berkat kekayaan dan keanekaragaman produk warisan budayanya.
Pengembangan warisan budaya sangat erat kaitannya dengan pelestarian kebudayaan. Upaya-upaya pelestarian kebudayaan, meliputi: perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Pemanfaatan, meliputi upaya-upaya untuk menggunakan hasil-hasil budaya untuk berbagai keperluan, seperti untuk menekankan citra identitas suatu bangsa, untuk pendidikan kesadaran budaya, muatan industri budaya, dan daya tarik wisata.
Satu di antara warisan budaya masyarakat Aceh yang bernilai tinggi adalah tenun dan sulaman Aceh. Kain tenun dan sulaman seharusnya dapat menjadi daya tarik dan memberikan informasi yang lebih banyak bagi wisatawan, baik mengenai pengetahuan tentang kain tenun dan sulaman maupun peristiwa yang berhubungan dengannya. Dengan demikian, kain tenun dan sulaman seharusnya diinformasikan kepada masyarakat Aceh khususnya supaya mereka mengetahui terhadap budayanya dan kepada wisatawan pada umumnya. Untuk itu, pada kesempatan ini dijelaskan secara singkat tentang sejarah tenun Aceh, disain, fungsi, dan manfaatnya bagi pengembangan pariwisata budaya di Aceh.
Sejarah Tenun di Aceh
Kebudayaan menenun diperkirakan telah ada sejak tahun 5000 sebelum Masehi di negara Mesopotamia dan Mesir. Kebudayaan ini kemudian berkembang dan menyebar ke Eropa dan Asia sehingga akhirnya sampai ke Indonesia setelah melalui India, China, dan Asia Tenggara. Kapan masuknya kebudayaan menenun ini ke Indonesia belum dapat diketahui secara pasti. Ada dugaan yang menyatakan bahwa kebudayaan menenun mulai berkembang di Indonesia sejak zaman Neolithikum, karena terbukti dengan kayanya tenunan-tenunan Indonesia dengan disain ornamental yang berasal dari stail monumental zaman Neolithikum. Akan tetapi, pendapat lain mengatakan bahwa pada zaman Neolithikum tersebut masyarakat Nusantara masih menggunakan bahan pakaian yang terbuat dari kulit kayu dan kulit binatang, sebagaimana halnya suku bangsa lain yang masih dapat dijumpai hingga sekarang.
Robert Heine Gildern, mempunyai dugaan bahwa kebudayaan menenun dikenal di Indonesia adalah bersamaan dengan menyebarnya kebudayaan Dong-son. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya kesamaan motif pilin (spiral) atau pilin berganda pada motif tenunan Nusantara dengan motif yang terdapat di Dong-son. Hal ini membuktikan tentang adanya pengaruh kebudayaan Dong-son. Pemilik kebudayaan Dong-son sendiri mempraktekkan kepandaian menenun tersebut dengan melihat sisa-sisa pakaian dari zaman perunggu yang berhasil digali di Dong-son.
Kain tenun Aceh
Koleksi Museum Aceh
Berdasarkan hasil penemuan tentang aneka ragam alat-alat tenun yang pernah (dan masih) dipergunakan oleh berbagai suku di Indonesia, dapat diketahui bahwa kebudayaan menenun timbul bersamaan dengan peradaban manusia. Kulit kayu dan kulit binatang yang semula dipergunakan sebagai pakaian (penutup badan), sesuai dengan kemajuan peradaban kemudian diganti dengan pakaian yang diperoleh dengan kepandaian bertenun.
Secara sederhana dapat diterangkan bahwa sebuah kain tenun, dihasilkan oleh perjalinan benang lungsin (benang yang menunggu) dengan benang pakan (benang yang datang). Proses yang sederhana inilah yang kemudian berkembang dengan berbagai teknik yang sesuai dengan kreatifitas manusia, sehingga menghasilkan ciptaan-ciptaan yang indah dan menarik.
Beberapa kelompok masyarakat di Nusantara, menenun merupakan suatu rangkaian upacara tersendiri, yang ditentukan oleh tahapan kerja, dengan tata tertib yang kemudian menjelma menjadi suatu nafas seni budaya. Pada zaman dahulu untuk menenun kain dari jenis-jenis tertentu tidak boleh dilakukan di sebarang waktu. Ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi sebelum kegiatan menenun dimulai. Hal ini tidaklah mengherankan bila mengingat bahwa beberapa jenis kain di berbagai suku ternyata mempunyai fungsi-fungsi yang khusus.
Khususnya di Aceh, sutera yang ditenun sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Ulat sutera banyak dibudidayakan di wilayah Aceh. Catatan paling tua tentang tenunan sutera di Aceh terdapat dalam sebuah kitab Sung (abad ke-10 dan ke-11), yang menyebutkan tentang produksi sutera di Pidie. Pidie merupakan daerah penghasil sutera pada permulaan abad ke-16. Sebagian besar sutera dari Pidie pada waktu itu dikirim ke berbagai wilayah di India. Demikian juga dengan orang-orang Belanda dan Prancis yang berkunjung ke Aceh menyebutkan tentang kain sutera dari Pidie yang sangat berharga dibandingkan dengan kain tenun yang ada di seluruh Sumatera pada waktu itu. John Davis juga menyebutkan tentang banyaknya sutera yang diproduksi di pusat kesultanan Aceh pada abad ke-17.
Sutera Aceh bermutu tinggi sehingga harganya lebih mahal daripada sutera serupa yang diimpor dari India. Menjelang abad ke-19, produksi sutera telah menyebar sampai ke pesisir barat Aceh, meskipun pusatnya tetap berada di Pidie dan Aceh Besar.
Selama abad ke-16 dan ke-17, bahan kain (sutera) merupakan barang dagangan utama dari Aceh yang dikirim ke luar melalui laut. Menurut seorang pengembara bangsa Portugis, Giovanni da Empoli, raja Pasai menjanjikan kepada bangsa Portugis seluruh ekspor sutera negerinya. Hal itu disebabkan bahwa satu di antara hasil produksi penduduk Pasai pada waktu itu adalah sutera, yang berpenduduknya berjumlah 20.000 orang. Selain itu, sutera Aceh juga dijual kepada orang Gujarat sebagai bahan penukar untuk kain dari Cambay serta barang dagangan lainnya hingga seharga 100.000 dukat.
Aceh bukan hanya pengekspor komoditas dagangan ke berbagai daerah, sebagai imbalan untuk berbagai jenis rempah-rempah berharga, tetapi juga mengimpor sejumlah banyak jenis kain dari anak benua India. Kain India merupakan barang dagangan yang sangat umum dan banyak digunakan pada abad ke-15 dan ke-16, sedangkan Aceh merupakan pasar utama bagi kain dari Gujarat. Hingga awal abad ke-19, kain merupakan bahan impor Aceh yang paling berharga. Dalam muatan sebuah junk Cina yang berlayar dari Penang ke Aceh, dari barang senilai 7.600 dolar Spanyol, senilai 2.000 dolarnya terdiri atas kain. Aceh banyak menghasilkan sendiri bahan sutera dan katun, tetapi untuk kain yang digunakan sehari-hari oleh penduduknya berasal dari kain impor.
Satu di antara jenis kain asal India yang beredar di Aceh adalah calico. Pada tahun 1680, VOC (perusahaan dagang Belanda) membuat catatan tentang keuntungan, baik yang diperoleh dengan berdagang chindos maupun patolen, satu di antara jenisnya khusus dibuat untuk orang Aceh. Kain patola dibuat dari benang sutera yang dicelup dan diperdagangkan di seluruh Nusantara pada waktu itu. Khususnya di Aceh, kain patola sangat disukai untuk selendang yang dipakai oleh orang-orang terkemuka di masyarakat.
Alas tempat duduk pengantin yang disulam dengan benang emas
Disain dan Fungsi Tenun Aceh
Di Aceh, selain kerajinan kain tenun juga terkenal dengan kegiatan sulamannya yang menggunakan teknik aplikasi. Warna-warna dan disain banyak dipengaruhi oleh motif-motif yang dibawa oleh para pedagang Arab yang berdatangan pada waktu agama Islam mulai menyebar di daerah Aceh.
Disain yang dipergunakan para penenun di Aceh mencakup serangkaian bentuk garis dan petak dengan pola geometris. Penggunaan benang lungsin dan benang pakan yang berlainan warna akan menghasilkan suatu pengaruh yang menarik pada kain tersebut. Pada waktu itu, teknik yang digunakan adalah teknik ikat, yaitu dibuat sejumlah ikatan kencang pada seberkas benang dengan mengikuti suatu pola hingga pada bagian benang yang tertutup ikatannya tidak terkena warna pada saat dicelupkan. Dengan demikian, Aceh satu-satunya daerah di Nusantara yang benang lungsinnya dibuat secara ikatan. Disain ikat tersebut membentuk mata panah halus yang bersarang dalam lajur berwarna, serupa dengan disain yang terdapat pada disain Batak. Ada kemungkinan orang Batak mengikuti pola disain tenun Aceh.
Disain tekstil yang rumit dan pelik tersebut dikerjakan oleh orang Aceh dengan benang pakan emas dalam tatanan geometris dan bentuk bunga yang menghiasi kain. Disain motif yang paling disukai adalah ular naga yang ditampilkan dalam berbagai ragam. Dalam disain tersebut dimungkinkan terdapat pengaruh Hindu. Akan tetapi, menurut Mens Fier Smedling, sutera Aceh bermotif benang emas merupakan pengaruh dari Persia.
Koleksi disain songket Aceh banyak dihimpun oleh ahli etnologi Belanda, J. Kreemer, pada awal abad ke-20. Selain itu, tekstil sutera Aceh juga tersimpan di Museum Leiden dengan berbagai motif, sebagai berikut: di bagian tengah terdapat pola yang terbentuk dari sejumlah bunga mawar kecil, sedangkan di tepinya berhias motif tumpal dan bunga. Ada juga di antara motif tersebut, yaitu di tengahnya seperti kembang manggis berbentuk bintang, di tepinya bermotif bunga dan tumpal.
Kehebatan tenun Aceh tidak hanya karena rumit dan kepelikannya, tetapi juga pilihan warna yang digunakan begitu kaya dan mencakup berbagai nuansa. Di antara warna yang digunakan adalah hitam, merah, kuning, hijau, biru, dan ungu, merupakan warna yang paling umum digunakan, yang dibuat dari bahan nabati.
Pekerjaan mencelup kain pada abad ke-18 dilukiskan dalam hikayat Pocut Muhammad, sebagai berikut: “lagi dua puluh helai kain telah dipotong, semuanya bahan halus bertepian kuat. Bahan sorban semuanya dicelup berwarna ungu, separuhnya dipotong dan dicelup beraneka warna untuk orang Jawa. Separuhnya lagi untuk bahan bagi tuanku, yang dicelup berwarna merah, merahnya bungong raja (hibiskus). Keusumba (safran) dilindi di sungai dalam jumlah besar sehingga sungai menjadi merah sampai ke muaranya. Air sungai itu tercemar akibat mencelup kain, tuanku.”
Mencelup kain merupakan bagian yang sangat penting dari industri menenun sutera, seperti yang terungkap dalam sebuah daftar panjang bahan celup Aceh yang disusun pada akhir abad ke-19. Di antara bahan celup tersebut adalah Bangko: rebusan kulit pohon ini mengandung bahan pewarna kecoklat-coklatan yang digunakan untuk mencelup kain. Gaca: pacar, tanaman belukar yang daunnya dilumat untuk memerahi (menginai) kuku jari tangan dan kaki. Gaci: kulit pohonnya dilumat dan kemudian direndam dan diperas. Cairannya digunakan untuk mencelup jala ikan. Keusumba: safran, rebusan bunga ini digunakan untuk mencelup sutera, katun, dan benang sehingga menjadi merah tua. Bunga ini banyak dibudidayakan di daerah pedesaan pada waktu itu. Kudrang: rebusan kulit pohon ini digunakan untuk mencelup sutera dan katun agar berwarna kuning. Keumudee: mengkudu, rebusan akar pohon ini digunakan untuk mencelup katun menjadi berwarna merah. Mireh: rebusan kulit pohon ini menghasilkan warna merah untuk bahan celupan kain. Ubar: rebusan kulit pohon ini menghasilkan bahan celupan berwarna merah dan hanya digunakan untuk mencelup jala para nelayan. Ulem: rebusan kulit pohon ini digunakan untuk mencelup sutera dan katun agar berwarna merah. Pohon ini banyak dibudidayakan di desa-desa di Aceh pada zaman dahulu. Reugon: rebusan kulit pohon ini digunakan untuk mencelup kain menjadi berwarna hitam. Seunam: nila atau indigo, bahan pewarna dari daun tanaman belukar yang digunakan untuk mencelup katun menjadi berwarna biru. Seupeueng: sepang atau secang, rebusan kulit pohon ini digunakan sebagai pencelup bahan dari sutera, katun, dan benang agar berwarna merah. Agar tidak memudar, bahan ini dicampurkan dengan gandarukam. Teungge: rebusan kulit pohon ini menghasilkan bahan celupan gelap yang digunakan untuk mencelup kain agar berwarna hitam. Cibree: rebusan kulit pohon ini berguna untuk membangun warna gelap pada kain katun.
Mencelup bahan tenun merupakan pekerjaan yang demikian menentukan dalam proses menenun sehingga orang Aceh beranggapan: “baik sekali jika menginang sirih pada waktu merebus malo, karena merahnya sirih berpengaruh baik atas merahnya bahan celupan. Apabila sempat terjadi bahwa bahan indigo yang disiapkan seorang perempuan tidak menghasilkan warna yang bagus pada bahan sutera, artinya salah seorang kerabatnya akan mendapat musibah kelak”.
Kepandaian menenun tidak saja dipergunakan untuk sekedar menghasilkan hanya kain sebagai penutup tubuh, tapi lebih dari itu kain tersebut dapat merupakan sebuah karya seni yang muncul sesuai dengan alur kehidupan masyarakat. Sehelai kain tenun yang indah, tidak saja berfungsi sebagai busana penutup tubuh, tetapi juga dapat menunjukkan derajat dan martabat si pemakainya.
Sebagaimana halnya sulaman benang emas, sutera digunakan untuk tujuan peragaan dan kemulyaan. Baik laki-laki maupun perempuan mengenakan sehelai sarung sutera di atas celana hitam khas Aceh. Untuk perempuan biasanya mengenakan selendang sutera berukuran panjang dan lebar yang diletakkan di bahu atau sebagai penutup kepala. Para lelaki biasanya menghias topi kebesaran mereka dengan sehelai kain sutera bersegi, hal itu untuk menambah pamor dan wibawanya. Kain tersebut dilipat dalam bentuk sudut bertemu sudut, kemudian dililitkan di sekeliling topi Aceh hingga membentuk kopiah meukeutop.
Kain tenun Aceh
Koleksi Museum Aceh
Bahan celana untuk perempuan juga dibuat dari sutera. Bahan itu dipotong menurut pola yang sempit pada mata kaki dan lebar pada pinggangnya. Celana tersebut diikat dengan pending perak atau emas, kemudian dirancang hingga dapat dipakai untuk semua ukuran.
Pada zaman dahulu di Aceh, sutera juga dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan perlengkapan sirih, yaitu bungkoih ranup. Bungkoih ranub itu digantungkan di atas bahu kiri dan diimbangi oleh sekumpulan anak kunci. Hiasan lain seperti kancing cincin dan tempat tembakau terbuat dari emas, suasa (campuran emas dengan tembaga), dan perak, yang semuanya bergantungan di bagian depan. Perlengkapan tersebut pada umumnya dipakai oleh laki-laki yang sudah berkeluarga. Para pedagang dan saudagar selalu membawa perlengkapan penting itu agar selalu lancar dalam melakukan transaksi bisnis. Apabila seorang laki-laki menjamu, ia menyilakan tamunya mengambil yang ia sukai. Sebaliknya, tamunya akan membalas menawarkan isi setangan sutera sendiri kepada penjamunya.
Memproduksi sutera merupakan suatu proses padat karya dan pada umunya dikerjakan oleh perempuan. Pembudidayaan ulat sutera, mengumpulkan dan memintal suteranya, menghimpun bahan-bahan untuk keperluan mencelup, dan kemudian mencelup benangnya, pada umumnya dikerjakan oleh perempuan. Menyusul kemudian menenun benang sutera, suatu tugas yang membutuhkan ketelitian, mencakup mempersiapkan alat tenun dan mengatur benang lungsin sutera yang halus, menggulung benang pakan pada gelondong, kemudian menenun dan menghitung setiap lembar benang hingga disainya terwujud. Secara umum alat tenun tradisional yang ditemukan di seluruh Asia Tenggara bentuknya hampir sama.
Kain Tenun sebagai Daya Tarik Wisata
Berdasar pada penjelasan di atas dapat dipahami, tenun Aceh menempati kedudukan dan arti penting dalam sejarah dan budaya masyarakat Aceh dan merupakan satu di antara identitas keacehan. Kurangnya informasi tentang kain tenun Aceh dapat menyebabkan wisatawan tidak mengerti dan memahami informasi tentang warisan budaya Aceh tersebut. Ditambah lagi di Aceh saat ini produksi kain tenun dan sulaman sudah sangat langka sehingga keberadaannya semakin tidak dikenal lagi.
Kain tenun dan sulaman seharusnya dapat memberikan informasi yang lebih banyak bagi wisatawan, baik mengenai pengetahuan tentang bendanya maupun peristiwa yang berhubungan dengannya. Dengan demikian, kain tenun dan sulaman yang merupakan satu di antara identitas keacehan menjadi berharga sehingga perlu dipelihara, dirawat, dan diinformasikan kepada masyarakat Aceh khususnya supaya mereka mengetahui terhadap identitasnya dan kepada wisatawan pada umumnya. Untuk itu, kain tenun dan sulaman perlu diinformasikan kepada wisatawan sehingga kain tenun dan sulaman dapat menjadi satu di antara daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Aceh.
Akhir-akhir ini, pariwisata sudah menuju menjadi kegiatan industri besar. Dibandingkan dengan sektor-sektor ekonomi yang lain, periwisata memperlihatkan perkembangan yang relatif stabil daripada yang dialami oleh sektor industri lain.
Fenomena itu menyebabkan banyak negara, wilayah, masyarakat, maupun investor mulai beralih dan melibatkan diri dalam dunia kepariwisataan. Di Indonesia juga sangat menyadari kekuatan sektor tersebut dan terus mengembangkan industri pariwisata di tanah air. Pemerintah daerah mulai menyadari pentingnya pengembangkan sektor pariwisata di daerahnya. Kebijakan-kebijakan di bidang pariwisata yang dibuat dalam rangka mendorong segala potensi daerahnya untuk mengembangkan atraksi, produk, dan destinasi wisata.
Namun demikian, sering terjadi, kegiatan pariwisata membawa dampak negatif, baik pada lingkungan alam maupun sosial budaya dan peninggalan budaya. Akan tetapi, apabila dalam kegiatan pariwisata yang terkonsep dengan baik dan tertata rapi, dampak dari kegiatan pariwisata dapat diminimalisasi. Hal itu disebabkan, pariwisata tidak menjual peninggalan budaya melainkan keindahan, nilai, dan maknanya.
Apabila pariwisata tidak dikelola dengan benar, warisan budaya yang dieksploitasi oleh para operator wisata demi keuntungannya dapat merusak pariwisata itu sendiri. Oleh karena itu, penting untuk dipahami bahwa pariwisata itu sendiri dapat membantu upaya pelestarian pusaka budaya.
Selama ini apa yang sering dipikirkan orang adalah bagaimana “menjual” aset budaya untuk pariwisata. Demi hal tersebut, misalnya, banyak kesenian yang terpaksa disederhanakan dan dikemas sesuai dengan selera dunia wisata, dan ini banyak dikeluhkan oleh para seniman “asli” karena kesenian tersebut menjadi sekedar komoditas dan tidak lagi memiliki makna. Di beberapa tempat wisata, atraksi diselenggarakan secara asal-asalan, atau banyak promosi yang disebarluaskan namun sebenarnya belum ada kesiapan dari apa yang dipromosikan. Sebagai penjual biasanya ia selalu ingin agar dagangannya laku sebanyak-banyaknya dan mendapat untung sebesar-besarnya, tapi sering lupa menjaga kualitas barang dagangannya agar memuaskan pembeli.
Kipas yang disulam dengan benang emas
Penutup
Selama ini, orang selalu mengaitkan pariwisata dengan pembangunan ekonomi. Pariwisata dianggap sebagai sarana untuk menjaring keuntungan materi. Namun demikian, tidak banyak yang mengaitkan kegiatan pariwisata dengan usaha pembinaan dan pengembangan kebudayaan. Kesan seperti itu tidak salah, karena memang kegiatan pariwisata meyebabkan berkembangnya industri pariwisata yang membuka peluang usaha serta lapangan kerja.
Di samping kelebihan dan nilai ekonomis yang menjanjikan dari pengembangan pariwisata, industri pariwisata juga memberikan dampak negatif bagi kelangsungan tinggalan budaya. Pertumbuhan pariwisata yang tinggi menimbulkan distorsi, kerusakan, dan pencemaran terhadap tinggalan budaya. Mungkin itulah yang disebut banyak kalangan sebagai pengaruh pariwisata terhadap lingkungan sosial-budaya, yang terkadang dijadikan sebagai alasan untuk mengontrol pengembangan pariwisata.
Demikianlah halnya dengan kain tenun (sutera) dan sulaman di Aceh telah kehilangan kedudukannya yang pernah menonjol pada zaman dahulu. Hanya sebagian kecil orang Aceh yang masih melestarikan kerajinan kuno tersebut. Betapapun dengan kehadiran benang emas dan sutera impor, sebagian kecil masyarakat tetap melanjutkan memakai alat tenun tradisional dan menghasilkan disain tradisional demi mengenang kejayaan yang pernah diraih oleh nenek moyangnya pada zaman dahulu. Mereka menghasilkan berbagai jenis kain dengan beraneka ragam motif yang sesuai dengan daerahnya. Jenis kain yang dihasilkan, antara lain jenis-jenis kain sarung, kain songket, kain selendang, kain tangkulok, dan jenis kain panjang. Sebagian dari warisan budaya tersebut dapat disaksikan di museum Aceh dan koleksi Harun Keuchik Leumik di Banda Aceh.
Mengantisipasi pudarnya warisan budaya Aceh tersebut, perlu dilakukan pelestarian. Secara umum pengertian pelestarian adalah upaya mempertahankan keadaan asli warisan budaya, dengan tidak mengubah dan tetap mempertahankan kelangsungannya dengan kondisinya yang sekarang (exitingcondition). Pelestarian juga mempunyai pengertian perlindungan dan pemeliharaan dari kemusnahan atau kerusakan. Pelestarian tersebut dapat dicapai melalui berbagai upaya seperti pengumpulan, pendataan, konservasi, preparasi, rekonstruksi, serta rehabilitasi. Dengan demikian, pelestarian warisan budaya meliputi pelestarian terhadap nilai dan fisiknya.
Penulis: Sudirman, peneliti Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional (BPSNT) Aceh.

Riwayat Ratu Nurillah

Ratu Nur Ilah merupakan salah satu penguasa perempuan yang terkenal dalam sejarah Kerajaan Pasai. Ia mangkat pada tahun 1380 Masehi. Ia diangkat menjadi ratu setelah Pasai diserang oleh Majapahit.
Mengenai sejarah perempuan perkasa ini sudah banyak ditulis oleh para ahli sejarah, diantara Dr Hoesein Djajaninggrat, yang langsung meneliti pahatan tulisan beraksara Arab di makanya. Kemudian Dr Othman M Yatim pakar arkeologi Islam Malaysi bersama Abdul Halim Nasir.
Menurut mereka, inskripsi yang terdapat pada nisan yang bertulisan Arab menyebutkan angka tahun mangkat sang Ratu yaitu Jumat 14 Zulhijah tahun 791 Hijrah, sedangkan yang tertera pada nisan yang berhuruf Jawa Kuno terpahat tahun 781 Hijrah. Jadi, antara kedua nisan itu terdapat selisih 10 tahun.
Menurut Dr W F Stutterheim, hal itu terjadi karena kesilapan pemahat sehingga, baginya, tahun yang tertera pada nisan yang bertulisan Jawa Kuno, yang bertepatan dengan tahun 1380 Masehi tersebut, merupakan tahun mangkatnya Ratu itu. Tulisan Jawa Kuno yang terpahat pada nisan yang sebuah lagi telah diteliti oleh Stutterheim dan dimuat dalam Acta Orientalia, Leiden, tahun 1936.
Hooykaas menerjemahkan syair di nisan itu sebagai berikut : “Setelah hijrah Nabi, kekasih, yang telah wafat, tujuh ratus delapan puluh satu tahun, bulan Zulhijah , 14, hari Jumat, Ratu iman Werda rahmat Allah bagi Baginda, dari suku Barubasa [di Gujarat], mempunyai hak atas Kedah dan Pasai, menaruk di laut dan darat semesta, ya Allah, ya Tuhan semesta, taruhlah Baginda dalam swarga Tuhan.’’
Prof Dr T Ibrahim Alfian adalam tulisannya dimuat dalam buku Wanita-wanita Perkasa di Nusantara, data lain yang berkaitan dengan sang Ratu, maupun yang berhubungan dengan takluknya Kedah kepada Pasai, sampai sejauh ini belumlah ditemukan, kecuali informasi dari nisan Ratu Nurilah yang tersebut di atas.
Meskipun demikian, pertalian kebudayaan antara Pasai dan Kedah telah terjalin lama seperti yang terlihat, antara lain, dari persamaan istilah untuk menyukat hasil-hasil pertanian, misalnya padi dan beras. “Stutterheim juga menganggap penyebutan dua kerajaan itu sangat menarik karena antara Pasai dan Kedah di waktu kemudian terdapat hubungan dagang, mengingat, di Selat Malaka, letaknya berseberangan. Mungkin hubungan inilah yang masih tersisa dari kesatuan Kerajaan Sriwijaya dan Kadara masa lalu, yaitu Sumatra dan Malaya,” jelasnya.
Namun yang menjadi pertanyaan baginya adalah mengapa di antara nisan Ratu Nur Ilah ini terdapat tulisan Jawa Kuno? Ratu Nurilah, sebagaimana disebutkan di atas, mangkat pada tahun 1380, masa Kerajaan Majapahit diperintah oleh Prabu Hayam Wuruk. “Patut dicatat bahwa Majapahit berada dalam puncak kejayaan pada pertengahan abad XIV berkat pimpinan Mahapatih Gadjah Mada. Dalam kitab Negarakrtagama yang digubah oleh Prapanca pada tahun 1365 disebutkan bahwa Samudra, tepatnya Samudra Pasai, adalah salah satu daerah yang ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit,” ungkapnya dalam tulisan tersebut.
Kemudian ia melanjutkan, sumber lain mengenai adanya serangan Majapahit terhadap Pasai terdapat dalam Kronika Pasai atau Hikayat Raja-raja Pasai. Meskipun tidak menyebutkan angka tahun penyerangan itu, hikayat ini masih memberikan indikasi waktu, yaitu dengan menceritakan nama raja yang berkuasa pada waktu serangan itu terjadi, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Ahmad.
Hikayat Raja-raja Pasai mengisahkan bahwa setelah tiga hari tiga malam berperang, kalahlah Pasai sehingga rakyat lari cerai berai. Laskar Majapahit masuk ke dalam kota Pasai dan menduduki istana Sultan Ahmad. Banyak rampasan dan tawanan yang mereka peroleh. Sultan Ahmad meninggalkan istana, melarikan diri ke suatu tempat kira-kira lima belas hari perjalanan dari negeri Pasai.
Setelah beberapa lama di Pasai, segala menteri punggawa dan rakyat Jawa dikerahkan oleh Senapati mereka naik ke bahteranya masing-masing, kembali ke Jawa, dengan memuat segala harta rampasan yang begitu banyak. Setelah sampai ke Majapahit, menurut Hikayat Raja-raja Pasai, Sang Nata bertitah, ‘’Akan segala tawanan orang Pasai itu, suruhlah ia duduk di tanah Jawa ini, maka kesukaan hatinya’’. Titah itulah, kata Hikayat Raja-raja Pasai selanjutnya, yang menyebabkan ‘’maka banyak keramat di Tanah Jawa tatkala Pasai kalah oleh Majapahit itu’’.
Dalam kaitan ini P De Roo de la Faille, dalam tulisannya ‘’Bij de Terreinschets van de Heilige Begraafplaats Goenoeng Djati’’, 1920, mengemukakan bahwa ditemukannya cungkub Puteri Cermen di desa Leran dengan candrasengkala 1313 atau 1308 Saka bertepatan dengan tahun 1391 atau 1386 Masehi menunjukkan telah adanya makam Islam di Gresik pada waktu itu. Hal itu, sesuai dengan dugaan de Roo de la Faile, bahwa koloni orang-orang Islam Gresik pada masa itu sesungguhnya berasal dari tawanan orang-orang Islam Pasai yang dibawa ke Majapahit.
Masih menurut Ibrahim Alfian, Dalam sebuah naskah Jawa, Tapel Adam, nama Pasai tercantum dalam sejarah pendakwah-pendakwah Islam pertama. Didalamnya diceritakan bahwa Syaikh Jumadilkubra adalah keturunan Zainul Abidin, sedangkan putera Jumadilkubra yang tertua adalah Maulana Ishak. ‘’wontening pase negeri, anyelammaken taiya, manjing Islam Nate Pase’’, dan puteranya yang kedua, Ibrahim Asmara, ‘’lumampah dateng Cempa’’.
Di dalam naskah Tapel Adam juga dikisahkan tentang Batara Majapahit yang memperisterikan puteri Raja Pasai dan saudara puteri itu datang ke Majapahit serta kemudian oleh Batara Majapahit dihadiahkan tanah Ampel-denta sebagai tempat kediamannya. Cerita seumpama ini terdapat pula dalam Hikayat Banjar yang juga akan dikemukakan di bawah ini.
Kemudian lanjut Ibrahim Alfian, pada akhir naskah Hikayat Raja-raja Pasai diceritakan sebagai berikut. ‘’Bahwa ini negeri yang takluk kepada Ratu [Raja] Negeri Majapahit kepada zaman pecahnya [kalahnya] Negeri Pasai, ratunya [rajanya] bernama Ahmad.’’
Cerita itu disertai dengan daftar nama-nama 35 buah negeri yang takluk kepada Majapahit, antara lain, untuk menyebutkan beberapa, Tiuman, Riau, Bangka, Sambas, Jambi, Kutai, Bima, Sumbawa, dan Seram. Hikayat Banjar juga menyebutkan bahwa yang takluk kepada Majapahit adalah Banten, Jambi, Palembang, Makasar, Pahang, Patani, Bali, Pasai, Campa, dan Minangkabau.
Nur Ilah Diangkat Jadi Ratu
Masih menurut Ibrahim Alfian, sebelum bala tentara Majapahit meninggalkan Pasai, kembali ke Jawa, rupanya pembesar-pembesar Majapahit telah mengangkat seorang raja, bangsawan Pasai, yang dapat dipercaya untuk memerintah Kerajaan Pasai. Raja ini tiada lain adalah Ratu Nur Ilah, keturunan Sultan Malikuzzahir, yang nisannya ditatah dengan huruf Jawa Kuno atas arahan yang diberikan oleh pembesar-pembesar Majapahit, tentunya.
Antara Kerajaan Majapahit dan Pasai terdapat hubungan persahabatan dan perdagangan yang sangat erat. Malaka yang mulai berkembang sebagai bandar dagang yang besar sekitar tahun 1400 Masehi mengakui peranan Pasai dan Majapahit dalam bidang perdagangan di Selat Malaka.
Tome Pires, yang menulis catatannya di Malaka dan India antara tahun-tahun 1512-1515 dalam Bahasa Portugis, dengan judul Suma Oriental, mengemukakan sebagai berikut. Malaka mengirim dutanya ke Majapahit untuk merayu Raja Jawa agar pedagang-pedagang Jawa mau melakukan kegiatan perdagangannya di Bandar Malaka. Raja Jawa mengemukakan kepada utusan Malaka itu, bahwa jung-jungnya telah lama sekali berlayar ke Pasai untuk berniaga dan ia mempunyai hubungan persahabatan yang erat dengan Pasai.
Di pelabuhan Pasai pedagang-pedagang Jawa memperoleh kedudukan istimewa dalam bentuk pembebasan dari keharusan membayar cukai impor serta ekspor dan perolehan barang dagangan yang baik dang menguntungkan. Raja Majapahit menambahkan, meskipun Raja Pasai menjadi vasal Majapahit, penentuan kebijaksanaannya dalam bidang perdagangan terserah kepada Raja Pasai sendiri. Ia sendiri tidak hendak menghapuskan kebiasaan yang telah lama ada dan telah disepakati sejak lama antara kedua kerajaan itu.
Setelah dutanya kembali ke Malaka, Raja Malaka mengirimkan pesan kepada Raja Pasai, mengharapkan kebaikannya agar menyetujui dan tidak berkecil hati jika Jawa berhubungan dagang dengan Malaka, serta memohon kebaikan Raja Pasai untuk megirimkan pedagang-pedagangnya beserta barang-barang dagangannya ke Malaka.
Raja Malaka juga menyampaikan bahwa ia telah mendapat jawaban dari Raja Majapahit, bahwa jika Raja Pasai bersetuju, Raja Majapahit akan berbesar hati. Raja Pasai kemudian mengirimkan utusannya ke Malaka untuk menyampaikan pesan bahwa Pasai tidak keberatan memenuhi permintaan Raja Malaka apabila Raja tersebut bersedia memeluk agama Islam. Akhirnya, Raja Malaka beserta segenap rakyatnya beriman akan Allah dan rasul-Nya dan sesudah itu banyak sekali pedagang Islam dari Pasai pindah berdagang ke Malaka, terutama bangsa Arab, Parsi dan Bengal.
Tautan antara Pasai dan Majapahit juga diungkapkan oleh Dr J J Ras dalam desertasinya yang dipertahankan pada tahun 1968 di Rijksuniversiteit Leiden, yaitu Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. Di dalamnya dikisahkan tentang Raja Majapahit yang belum Islam, yang mengirim utusannya untuk meminang putri Pasai. Meskipun raja Pasai itu beragama Islam, ia tidak kuasa menolaknya, takut diserang oleh Majapahit. Ia hendak memelihara rakyat dan negerinya dari kebinasaan. Di Majapahit puteri Pasai itu diberi tempat tinggal yang terpisah, tiada bercampur dengan gundik-gundiknya yang lain, agar tiada memakan makanan yang haram.
Selang beberapa waktu datanglah saudara Puteri Pasai, Raja Bungsu namanya. Setelah beberapa lamanya ia di Majapahit, ia ingin kembali ke Pasai. Puteri Pasai itu tiada sekali-kali ingin saudaranya pulang ke Pasai, karena ia tidak mempunyai sanak saudara di Majapahit. Oleh karena Raja Bungsu berkeras hendak pulang juga ke Pasai maka puteri itu merasa sangat sedih. Karena Raja Majapahit sangat sayang kepada Puteri Pasai itu, dimintanya kepada Raja Bungsu agar tinggal saja di Majapahit, agar Puteri itu tidak sampai jatuh sakit. Raja Majapahit bertitah jika Raja Bungsu bersedia tinggal di Majapahit, ia dapat mendirikan rumah ditempat mana saja yang disukainya.
Akhirnya Raja Bungsu memilih Ampel sebagai tempat kediamannya dan Raja Majapahit berkenan meluluskan permohonan Raja Bungsu itu. Ketika menebas hutan di dukuh Ampel itu, Raja Bungsu menemukan kayu gading yang kemudian dijadikan tongkat. Sejak itu, dukuh itu terkenal dengan nama Ampelgading hingga sekarang ini. Karena desa Ampel hendak memeluk agama Islam, Raja Bungsu mengirim utusannya untuk menyampaikan hasrat tersebut kepada saudaranya, Puteri Pasai, yang kemudian meneruskannya kepada suaminya, Raja Majapahit.
Sabda Raja Majapahit menurut Hikayat Banjar, berbunyi demikian: ‘’Katakan arah Bungsu, barang siapa handak masuk Islam itu terima masukkan Islam itu. Jangankan desa itu, maski orang dalam nageri Majapahit ini, namun ia hendak masuk Islam itu, masukkan’’. Setelah suruhan Bungsu kembali ke Ampel, seluruh penduduk Ampel memeluk agama Islam
sumber: harian-aceh (Fokus Oleh Iskandar Norman – 4 June 2011)